Rabu, 23 April 2014

Sisi Lain Kartini

Di pesisir utara pulau Jawa, di wilayah Jepara, ada seorang kiai: Mbah Kiai Madirono yg beristri Bu Aminah. Mereka memiliki anak perempuan bernama Bu Ngasiroh. Anak perempuan ini kemudian dinikahi oleh Bupati Jepara hingga melahirkan perempuan bernama Kartini.

Ketika kecil, Kartini mengaji pada Mbah Kiai Soleh nDarat Semarang yang pernah nyantri di Mekkah bersama Kiai Imampuro (Ngemplak) dan Syeh Anom Sidakarsa (Kebumen).

Suatu ketika, setelah mendengar gurunya menafsirkan Alquran, Kartini merasa hatinya tentram dan akhirnya ia meminta gurunya menerjemahkan 30 juz ke dalam bahasa Jawa agar dapat dijadikan pedoman bagi para perempuan di tanah Jawa. Kiai Soleh menolak dan mengatakan bahwa tak mudah menerjemahkan Alquran, harus memiliki ilmu yg komplit mulai nahwu-saraf, asbabul nuzul, asbabul wurud, paham makna 'urfi, makna hakiki, majas, dan sebagainya yg disebut sbg 14 ilmu bantu tafsir Quran yg dijelaskan dlm kitab Itmamud Dirayah.

Kartini meyakinkan gurunya bahwa ia sudah mumpuni. Sang guru begitu trenyuh mendengar semangat gadis kecil ini yg punya cita-cita mulia. Akhirnya, dimulailah penerjemahan Alquran di Pesantren nDarat Semarang. Baru selesai 13 juz, hasilnya utk pertama kali dicetak di Singapura dg judul "Faidurrahman fi Tafsiri Ayatil Qur'an" atas usul R.A. Kartini. Buku tafsir ini dinyatakan sbg tafsir Quran pertama di Asia Tenggara.

Buku terjemahan Alquran dlm bhs Jawa ini dijadikan kado pernikahan Kartini dari gurunya, Kiai Soleh. Inilah salah satu buku yg menjadi pedoman dan pembentuk karakter Kartini shg agamanya kuat.

*) hasil ngaji kpd Romo Kiai Chalwani Nawawi, Berjan, Purworejo
*) mohon maaf jika ada kesalahan penulisan nama & istilah, maklum telinga saya terbatas

Senin, 22 Juli 2013

Hari Anak Nasional 2013

Mungkin masih kurang populer kalau 23 Juli adalah Hari Anak Nasional. Kalau mau tahu sejarah penetapan hari itu sebagai Hari Anak Nasional, silakan googling. Seabrek tulisan tentang itu.

Hari ini saya mau berbagi soal anak. Ini bukan kapasitas saya sebagai pengamat atau pengkaji anak, apalagi psikolog. Ini cuma ocehan seorang manusia yang sudah nggak pantas disebut anak-anak, tapi juga belum tentu bisa dianggap dewasa. Mau dibilang ABG juga sudah bangkotan.

Bagi saya, anak menyimpan banyak sekali keajaiban yang jarang diduga oleh kita yang mengaku dewasa. Bulan Ramadan ini saya kembali dibuat iri oleh anak-anak di program "Hafidz Indonesia". Saya pikir anak-anak seperti itu jarang ada di Indonesia, tapi seabrek di kawasan Timur Tengah. Ternyata, dugaan jauh meleset. Indonesia pun punya seabrek anak-anak demikian.

Kecintaan pada anak-anak bermula ketika saya harus mengajar anak-anak SD ketika saya masih kuliah dan juga saat berinteraksi dengan mereka untuk tugas mata kuliah pengkajian sastra anak. Saya yang awalnya kurang dekat dengan anak-anak menjadi sangat tertarik pada mereka dengan segala kepolosan dan kejutan-kejutannya. Saking dekatnya dengan mereka, kadang saya sampai di-bully oleh mereka (kebalik ya hehe). Kadang memang kesal menghadapi tingkah mereka, tapi semua terobati saat mereka sudah menunjukkan kelebihannya. Jenius karena memang IQ-nya subhanallah, cerdas di linguistiknya, matematik, visual, spasial, dan lainnya. Ya, sekali lagi mereka mengagumkan buat saya.

Ngomong-ngomong soal kenakalan anak-anak, saya jadi mengerti pernyataan para psikolog bahwa tak ada anak yang nakal, yang ada hanya anak kreatif yang mungkin kurang mendapat bimbingan. Saya sangat setuju dengan hal itu. Empat tahun lebih berinteraksi secara intens hampir setiap hari dengan mereka membuat saya tahu bahwa anak-anak yang dianggap nakal sebenarnya sedang meluapkan kreatifitas mereka. Misal anak yang suka mencoret meja, saat diminta menggambar, hasilnya keren. Atau anak yang suka meledek temannya, saat diajak diskusi sangat asyik dan jangan heran, pengetahuan mereka luas. Mereka meledek dengan pengetahuan mereka. Dan masih banyak contoh lainnya. Jadi, intinya tinggal kita yang mengaku dewasa ini yang membantu mereka memahami dan mengarahkan kreativitasnya agar tak salah arah. (Ini hanya pandangan saya lho ya, bukan memberi nasihat, apalagi menggurui)

Saya juga pernah mendengar sebuah slogan sebuah komunitas yang tujuannya memberi ruang kreasi bagi anak-anak di kawasan Dieng, Jawa Tengah. "Bocah dudu dolanan, bocah kudu dolanan." (Anak bukan mainan, anak harus bermain)

Slogan itu dalam maknanya menurut saya. Tanpa sadar kadang kita memosisikan anak-anak sebagai "mainan" kita (dalam kasus ringan). Ekploitasi anak untuk dunia perdagangan dan hiburan. Coba ingat berapa banyak iklan susu formula yang memamerkan kelucuan anak-anak untuk meningkatkan jumlah pembelian produk. Iklan produk lain yang membawa anak-anak juga masih banyak. Kita (atau saya saja mungkin) memang terhibur. Mereka benar-benar lucu. Tapi apa iya mereka layak dimanfaatkan untuk meraup keuntungan? Hmmm, serba salah sih ya hehe... Film? Sinetron? Ya, masih banyaklah jenis hiburan lain yang mengeksploitasi mereka. Mungkin mereka senang bisa beken, tapi karena tuntutan dari banyak pihak, akhirnya mereka jadi stres dan kehilangan masa kanak-kanaknya karena harus menjadi public figure.

Dalam kasus yang lebih berat, anak menjadi tujuan atau terdampak laku kejahatan. Kekerasan hingga pelecehan seksual kerap dialami mereka. Kadang pelakunya justru orang terdekat mereka yang sudah mereka anggap bisa melindungi mereka. Trauma pun menjadi bayang-bayang mereka.

Guru saya saat mengikuti kuliah sastra anak, Prof. Riris Sarumpaet, mengatakan perasyikan adalah dunia anak-anak. Menyambung ke slogan sebelumnya, anak-anak memang harus bermain. Bermain yang mengembangkan kreativitas dan menghibur mereka tentunya, bukan malah memaksa mereka melakukan yang tak mereka suka. Saya selalu kasihan melihat mereka yang pulang sekolah harus ikut bimbel dan les, dari bahasa Inggris, sempoa, kumon, musik, tari, dan lainnya yang kadang bukan karena hobi mereka tapi karena paksaan dan tuntutan orangtua. Malamnya mereka harus belajar dan mengerjakan tugas dari sekolah atau bimbel dan les. Kapan mereka bermain?

Mainan dan hiburan untuk mereka juga sudah jarang. Mainan serba instan, game online, dan peralatan game elektronik lainnya yang justru membuat anak diam di tempat dan akhirnya banyak kasus obesitas pada anak: asyik main game, duduk diam, tapi ngemil jalan terus :D 

Lagu anak-anak? Jarang ya sekarang... Palingan sekarang lagu anak-anak cuma populer di PAUD, TK, dan komunitas tukang odong-odong. Di luar itu, ya lagu konsumsi mereka adalah lagu orang dewasa. Zaman saya sih masih ada Trio Kwek-Kwek, Joshua, Eno Lerian, Agnes Monica cilik, dll. Kasihan ya anak-anak sekarang. Ada sih penyanyi anak-anak, bahkan ada boy/girlband anak, tapi ya lagunya? You know lah... Ajang pencarian bakat nyanyi buat anak juga ada, tapi ya lihat saja deh. Dari lagu sampai kostumnya, nggak jauh beda dengan ajang serupa untuk orang dewasa, bedanya cuma pesertanya aja, yang ini masih di bawah umur.

Eh, kok jadi panjang begini ya. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya curhatkan sih, tapi sudahlah, lain waktu saja. Selamat beraktivitas. Selamat Hari Anak Nasional...

Pangkalpinang, 23 Juli 2013 07.46
Prima (pecinta anak-anak dan nggak sabar ingin punya anak hha)
*ditulis mendadak tanpa editing, jadi maaf ya banyak yang nggak jelas

Kamis, 24 Januari 2013

Kembalikan Fungsi Klakson Sesuai Fitrahnya





Seperti biasanya, pagi kemarin saya gegowesan (baca: bersepeda) keliling kota. Saya keluar gang indekos dan akhirnya sampailah ke jalan agak besar dan terus mengayuh sepeda hingga ke jalan raya empat lajur (lebarnya kurang lebih 22 meter). Saya tinggal di Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tak seperti di Jakarta, di sini jalan raya pada pagi hari sebelum pukul enam masih sangat sepi, hanya satu dua kendaraan yang lewat, apalagi jalan yang saya lewati ini: Jalan Mentok.

Sedang asyik-asyiknya gowes di jalanan lengang dan suasana yang sepi, mendadak ada bunyi klakson di belakang saya. Ada sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan sedang hendak melewati saya. Karena sedang sepi, saya kaget mendengar suara klakson tersebut. Oke, saya paham salah satu fungsi klakson adalah fungsi eksistensi, yakni menunjukkan keberadaan seseorang/sesemobil/sesemotor/atau sese-lainnya. Tapi yang saya heran dari peristiwa tersebut adalah kondisi jalanan yang sangat sepi. Hanya ada mobil tersebut dan saya yang mengendarai sepeda. Lagi pula posisi saya sangat di pinggir jalan, tidak ada satu meter jaraknya dengan trotoar. Dengan demikian, masih tersisa kurang lebih 10 meter untuk lajur kiri dan 11 meter untuk lajur kanan. Saya kira ruang selebar itu masih sangat cukup untuk mobil Avanza yang lebarnya tak lebih dari tiga meter. Jalanan di sana juga lurus tanpa ada belokan. Jadi, masihkah klakson itu berfungsi sebagai tanda eksistensi? Saya kira tidak. Klakson yang sebelumnya berarti “Ada gue di belakang lo. Jangan belok kanan dulu ya. Gue mau lewat,” saat itu berubah menjadi “WOEI...! MINGGIR LO...!!! GUWEEH MAU LEWAT...!!!”

Atau kejadian lain pada suatu siang terik di perempatan. Kejadian ini pasti sering dialami oleh para pengendara, atau mungkin Anda salah satu pelakunya. Beberapa detik lagi lampu merah akan berubah jadi hijau. Ketika angka merah menunjukkan angka 0, beberapa pengendara di antrean belakang (yang sedang kebelet pup mungkin) langsung membunyikan klakson BERKALI-KALI. Pengendara motor di samping saya juga melakukan demikian. Saya yang jengah dengan hal itu pun nyletuk dengan cukup keras, “Sabar kalee, Pak...!” Hasilnya, saya diplototin orang.

Entah logikanya yang tidak jalan atau otaknya yang memang setara dengan otak ganggang, mereka terus membunyikan klakson. Padahal jika diperhatikan atau jika kita mau memosisikan diri seolah sedang ada di antrean depan, kita akan paham bahwa butuh sepersekian detik untuk menjalankan kendaraan kita ketika lampu berubah menjadi hijau. Sepersekian detik tersebut tinggal dikalikan dengan banyaknya saf/baris antrean. Jadi,  kita yang ada di antrean belakang tidak bisa langsung berjalan seketika itu juga saat lampu berubah menjadi hijau. Butuh sekian detik agar antrean belakang bisa berjalan.  

So, mulai sekarang kurangilah membunyikan klakson untuk hal seperti itu. Sadar dirilah, walaupun bukan ahli matematika atau profesor fisika, kita masih bisa memperkirakan hal demikian. Dalam kondisi demikian, klakson layak dibunyikan ketika kendaraan di depan kita sudah lama tidak berjalan padahal di depannya sudah tidak ada antrean dan lampu sudah hijau. Jika belum pada kondisi demikian, ya bersabarlah. Sabar sekian detik tidak akan membuat pup kita keluar di jalan, kan?

Fungsi klakson selain sebagai bukti eksistensi adalah memberikan perintah kepada yang lain untuk menyingkir karena kita mau mendahuluinya dan keberadaannya menghalangi jalan kita sehingga sebaiknya ia sedikit menyingkir. Fungsi lainnya mungkin untuk bukti kekerabatan. Pasti pernah kan ada seseorang yang kita kenal mengklakson saat melewati kita? Ya, itu dimaksudkan untuk “menyapa” kita. Daripada berteriak dan dikhawatirkan malah tidak terdengar, ya lebih baik mengklakson. Tinggal berharap saja, orang yang diklakson sadar bahwa itu orang yang dikenalnya yang ingin menyapanya.

Mau buka pintu garasi atau pintu gerbang dan ada orang di rumah yang bisa membukakannya? Ya tinggal klakson saja daripada kita turun dari mobil hehe. Tapi biar sekalian olahraga ya keluar dan berjalanlah sendiri membuka pintu garasi atau gerbang rumah kita.

Ada juga sih fungsi lainnya menurut pengamatan saya. Fungsi luapan kemarahan. Ya, sering lihatlah atau mungkin kita pernah melakukannya. Ketika kita marah karena ada pengguna jalan yang hampir membuat kita celaka, kita membunyikan klakson untuk meluapkan kemarahan kita. Tapi semoga kita tidak mengalami hal demikian.

Tentunya masih ada fungsi klakson yang lainnya yang tidak perlu saya bicarakan di sini. Sekali lagi, bijaklah menggunakan klakson. Kita kesal ‘kan jika ada orang yang mengklakson kita padahal posisi kita sudah benar? Ya jangan suka klakson sembarangan juga ya hehe... Yuk, kembalikan fungsi klakson sesuai fitrahnya.

The Magic Finger (Jari Ajaib) Roadl Dahl


Buku selanjutnya yang saya baca untuk mengenang masa kanak saya bersama Roadl Dahl adalah The Magic Finger (Jari Ajaib). Di sini tokoh utamanya adalah si Aku, jadi sinopsis yang saya tulis juga tetap mempertahankan ke-aku-an. Buku edisi Indonesia terbitan Gramedia Pustaka Utama ini memiliki banyak ilustrasi di setiap halamannya, tetapi semuanya hitam putih, tidak berwarna seperti buku Buaya Raksasa.

Tanah pertanian kami bersebelahan dengan milik keluarga Gregg. Mereka mempunyai dua anak laki-laki: Philip (8 tahun) dan William (11 tahun). Aku berumur 8 tahun.  Pak Gregg dan kedua anaknya suka berburu. Aku tidak suka dan sering mencegah mereka untuk berburu. Bukannya mendengarkanku, mereka malah menertawakanku. Pulang berburu mereka membawa seekor rusa. Aku sangat marah dan tak dapat mencegah jari telunjukku teracung ke arah mereka.

Jariku adalah Jari Ajaib. Dulu Aku pernah dibilang bodoh oleh guruku, Bu Winter, sehingga aku marah dan tak dapat mengendalikan Jari Ajaibku. Jadilah Bu Winter memiliki kumis dan ekor besar berbulu seperti kucing. Hingga sekarang Bu Winter tidak kembali seperti semula.

Setelah mendapat rusa, sore harinya Pak Gregg dan kedua anaknya kembali berburu. Mereka mendapatkan 16 ekor itik. Sehabis gelap, mereka pulang. Ketika itu, ada empat itik (dua induk dan dua anak) mengikuti mereka. Malam harinya ketika Pak Gregg keluar rumah untuk mengambil kayu bakar perapian, ia melihat empat ekor itik tersebut terbang mengitari rumahnya. Ia pun segera masuk ke dalam rumah.

Pagi harinya mereka mendapati tubuhnya mengecil. Tangan mereka juga hilang dan tergantikan oleh sepasang sayap itik. Mereka pun mencoba terbang keluar rumah. Ketika kembali ke rumah, mereka mendapati bahwa rumahnya telah dikuasai oleh empat itik tadi yang telah berubah menjadi seukuran manusia dan sayapnya berubah menjadi tangan. Keluarga Gregg pun akhirnya bergotong royong membuat sarang di pohon. Malam harinya hujan turun sangat lebat disertai dengan angin kencang. Mereka basah kuyup.

Akhirnya pagi pun menjelang. Ketika menengok ke bawah mereka melihat ketiga itik raksasa didampingi seekor itik membawa senapan dan mengarahkannya ke sarang keluarga Gregg, hendak menembaki mereka. Pak Gregg memohon kepada para itik raksasa untuk tidak menembak dia dan keluarganya. Para itik pun tidak jadi menembak mereka setelah keluarga Gregg berjanji tidak akan menembaki itik dan hewan-hewan lainnya serta akan menghancurkan ketiga senapannya.

Mendadak suasana menjadi gelap dan setelah kembali normal keluarga Gregg juga kembali seperti sediakala, kembali ke ukuran semula, memiliki tangan, tanpa sayap. Para itik juga telah terbang dengan ukuran dan bentuk tubuh seperti semula.

Pak Gregg segera menghancurkan ketiga senapannya. Bu Gregg mengubur 16 itik dan membuat pusara di atas makam mereka. Philip dan William sedang memberi makan unggas liar dengan sekarung jewawut milik ayah mereka. Tiba-tiba kami mendengar suara senapan di danau. Suara itu berasal dari ulah keluarga Cooper yang sedang berburu, Aku kembali mengacungkan jari.

"The Enrous Crocodile" (Buaya Raksasa) Roald Dahl

Tiba-tiba saya rindu dengan cerita-cerita Roald Dahl ketika saya melihat jejeran buku karyanya di toko buku. Untuk mengobati rindu itu, saya pun mengambil beberapa buku di rak dan segera membayarnya. Ternyata memang mengasyikkan kembali menyelami masa-masa kecil. Versi asli buku ini diterbitkan oleh Quentin Blake pada 1978. Di Indonesia buku ini pertama kali diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada Mei 2006 dan terbit kembali pada Januari 2010.
Buku setebal 64 halaman dengan dicetak seluruhnya pada kertas art paper atau coated paper. Sebagian besar halamannya juga didominasi oleh gambar berwarna sehingga menarik dibaca oleh anak-anak. Selain itu, banyak pula nasihat yang terkandung di dalamnya. Buaya yang rakus, sombong, dan mengaku dirinya paling cerdik akhirnya dapat dikalahkan oleh binatang-binatang lainnya. Seperti pepatah "Tong kosong nyaring bunyinya". Begitulah buaya yang suka membual. Ia hanya melebih-lebihkan dirinya padahal sebenarnya dia tidak sepintar yang ia katakan.
Di sungai terbesar di Afrika hidup seekor buaya raksas dan buaya yg tak terlalu besar. Siang itu, buaya raksasa ingin menyantap seorang anak kecil. Ia berkata memiliki rencana rahasia dan taktik yang cerdik. Buaya Kecil tidak suka dengan kelakuan Buaya Raksasa.
Buaya Raksasa berjalan keluar sungai. Ia bertemu dengan Humpy Rumpy, kuda nil. Humpy-Rumpy juga tak suka dengan rencana Buaya Raksasa. Buaya Raksasa melanjutkan perjalanan. Ia bertemu dengan gajah Trunky dan menggigit kakinya untuk mengagetkannya. Gajah tidak suka juga dengan rencana buaya. Buaya kembali berjalan dan bertemu dengan kera Muggle-Wump. Kera juga tidak suka dengan rencananya. Buaya malah mengganggunya dengan merobohkan pohon yang sedang dipanjat si kera. Buaya berniat memakan kera tapi kera berhasil melarikan diri. Buaya melanjutkan perjalanan dan bertemu burung Roly-Poly. Buaya mencoba menerkam burung itu, tapi yang didapatnya hanyalah berhelai-helai ekor burung yang indah itu.
Akhirnya, Buaya Raksasa itu tiba di seberang hutan yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Berjalan melewati hutan membuatnya lapar. Ia ingin menyantap tiga anak. Di sana sering ada anak-anak mencarin buah kelapa yang jatuh. Buaya segera mengumpulkan buah kelapa dan daun kelapa yang jatuh. Ia segera mengatur buah dan daun agar mirip dengan sebatang pohon kelapa kecil. Dua anak kecil datang dan hendak memanjat pohon kelapa kecil itu. Kuda nil yang tahu sebenarnya segera menyuruh anak itu menyingkir dan menubruk pohon kelapa kecil itu yang sebenarnya adalah si Buaya Raksasa.
Buaya berjalan menuju taman bermain anak-anak. Ia berbaring melintang di atas sebatang kayu sehingga seperti papn jungkat-jungkit. Ketika sekolah bubar, anak-anak berhamburan ke taman bermain. Kera datang dan memperingatkan anak-anak bahwa itu sebenarnya adalah buaya. Mereka pun segera lari berhamburan. Ia marah kepada kera dan sangat lapar. Ia ingin menyantap empat anak agar kenyang.
Buaya segera melaksanakan rencana ketiga. Ia pergi ke pasar malam dan duduk di komidi putar seolah seperti patung-patung tempat duduk di komidi putar. Anak-anak segera menghampirinya. Burung Roly-Poly yang melihat itu segera memperingatkannya. Semua pengunjung berhamburan menyelamatkan diri. Buaya berlari ke semak untuk bersembunyi. Ia sangat lapar sehingga ingin memakan enam anak agar kenyang.
Buaya menuju tempat piknik. Di sana banyak meja dan bangku untuk istirahat pengunjung. Buaya mencari bunga-bunga dan meletakkannya di sebuah meja. Ia menyembunyikan sebuah bangku dan menggantikan bangku itu dengan dirinya dengan cara membuat dirinya seolah-olah seperti bangku. Datanglah empat anak menghampiri bangku tersebut. Tiba-tiba datanglah Trunky si gajah memperingatkan mereka. Dengan belalainya gajah itu memegang ekor buaya dan memutarnya. Semakin lama semakin cepat hingga terlihat seperti lingkaran buram. Trunky melepaskan ekor buaya dan melesatlah sang buaya ke angkasa hingga akhirnya meledak karena menubruk matahari.

Selasa, 15 Januari 2013

A Fantasy Reading Challenge


Pada akhir tahun 2012, saya mendapat kabar dari seorang teman saya (@sansadhia) mengenai A Fantasy Reading Challenge ini. Setelah dipikir-pikir, tak ada salahnya juga saya mencoba mengikutinya. Ketika saya bongkar rak buku di kamar kos, ternyata memang masih cukup banyak juga buku fantasi yang sudah saya beli tapi belum dibaca dan kebanyakan adalah novel fantasi berseri. Inilah buku-buku yang akan saya baca dalam setahun ini.
  1. The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel #1: The Alchemist (Michael Scott)
  2. The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel #2: The Magican (Michael Scott)
  3. The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel #3: The Sorceress (Michael Scott)
  4. The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel #4: The Necromancer (Michael Scott)
  5. The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel #5: The Warlock (Michael Scott)
  6. The Kane Chronicles #1: The Red Pyramid (Rick Riordan)
  7. The Kane Chronicles #2: The Throne of Fire(Rick Riordan)
  8. The Heroes of Olympus #1: The Lost Hero (Rick Riordan)
  9. The Heroes of Olympus #2: The Son of Neptune (Rick Riordan)
  10. The 13th Reality #1: The Journal of Curious Letters (James Dashner)
  11. The 13th Reality #2: The Hunt for Dark Infinity (James Dashner)
  12. Harry Potter #7: Harry Potter dan Relikui Kematian (J.K. Rowling)

Additional Challenge

Jumat, 17 Desember 2010

Beringin Kembar di Alun-Alun Kidul, Keraton Yogyakarta




Yeah...yuk jalan-jalan sambil nyentil yang mistis-mistis

Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar mitos beringin kembar (penduduk menyebutnya Wringin Kurung) yang ada di tengah-tengah Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta. Atau bahkan mungkin ada pula yang pernah mencobanya. Bagaimana? Berapa kali kalian mencobanya? Berhasilkah? Ya…konon, orang yang berjalan dari ujung alun-alun hingga dapat melewati celah (selebar kira-kira 10 meter) di antara kedua pohon beringin tersebut dengan menutup matanya adalah orang-orang yang memiliki hati yang tulus dan bersih serta segala harapannya akan terwujud.

Jika dilihat, berjalan lurus (dari depan pendopo utara hingga tengah alun-alun kurang lebih 25 meter) dengan mata tertutup untuk melewati celah di antara dua beringin tersebut memang terlihat mudah. Namun, tidak semua orang dapat melewatinya. Beberapa teman yang pernah mencobanya merasa sedang berjalan berbelok ke kiri, tetapi pada kenyataannya mereka berbelok ke kanan, atau sebaliknya. Ada juga yang merasa berjalan lurus, tetapi nyatanya mereka berbelok semakin menjauh dari pohon beringin. Banyak kejadian lucu saat kita berada di sana. Kita dapat melihat kejadian yang saya sebutkan tadi, ada juga yang hanya berputar-putar saja mengelilingi pohon beringin (kalau yang ini, temannya iseng, nggak nyuruh menyudahi aksi ngocol dan mengibakan kayak gini).

Banyak sekali (eh, nggak juga sih) cerita di balik kejadian ini yang dihubungkan dengan kejadian mistik. Ada yang mengatakan, di depan Wringin Kurung tersebut ada barisan makhluk halus yang bergandengan tangan dengan erat dan membentuk barisan yang membelok ke kanan (menurut teman, memang banyak wisatawan yang akhirnya berjalan berbelok ke kanan, rasanya sedang berjalan lurus padahal sedang berjalan berbelok ke kanan).

Lalu bagaimana sebenarnya mitos itu bisa terbentuk? Menurut warga Yogja (lebih tepatnya seorang teman yang kuliah dan ngekos di Yogja), ceritanya seperti ini.

Kejadian ini terjadi ketika Sultan Hamengkubuwono I berkuasa (1755—1792). Saat itu putri Sultan akan dipinang seorang pangeran. Akan tetapi, sang putri tidak mencintainya. Sang putri pun membuat akal-akalan agar pangeran itu takjadi menikahinya. Sang putri memberi syarat bahwa yang dapat menikahinya adalah orang yang dapat berjalan dengan mata tertutup dari pendopo utara Alun-Alun Kidul melewati celah antara dua beringin kembar di tengah alun-alun hingga selesai di pendopo selatan. Setelah dicoba, ternyata pangeran tak berhasil.

Akhirnya, Sultan bersabda “Orang yang dapat melewati celah beringin kembar tersebut hanyalah orang yang hatinya benar-benar bersih dan tulus.” Pada akhirnya, sang putri pun dipinang oleh pemuda dari Siliwangi yang berhasil melaksanakan syarat tersebut. Secara politik (kata temen anak jurusan Sejarah), memang diketahui muncul kekerabatan yang erat antara Mataram dengan Kerajaan Siliwangi.

Begitulah cerita yang saya dengar dari seorang teman dan beberapa sumber lain. Sampai saat ini, banyak wisatawan yang mencoba melewati beringin kembar tersebut. Jika berkunjung ke Alun-Alun Kidul pada malam hari, kalian akan melihat banyak orang yang melakukan hal tersebut. Otak bisnis orang Jogja pun berjalan. Selain, tentu saja, banyak pedagang makanan angkringan, ada pula pedagang yang menyewakan penutup mata, dua ribu untuk seorang.


Jadi, siapa yang pernah mencobanya?

Sayaaa…!!! Ya, saya pernah mencobanya. Pertama kali saat saya sedang SPMB tahun 2006 di Jogja (sempet ya paginya mau SPMB, malemnya malah maen-maen sampe tengah malem…hha… *emang ni otak isinya maen mulu). Saat itu, bersama tiga orang teman, saya mencoba hingga tiga kali, dua kali di antaranya saya berhasil melewati celah beringin kembar tersebut. Teman saya tak ada yang berhasil, bahkan mereka malah menuduh saya ngintip…zzz… Padahal, saya sama sekali tak ngintip, beneran dah...!

Kedua kalinya (saat Sekaten 2010) saya bersama tiga teman saya liburan ke Jogja. Sekembalinya dari Kotagede melihat industri kerajinan perak, selepas asar kami sudah berada di Alun-Alun Kidul, menyewa sepeda-gandeng-tiga hingga maghrib. Suasana di sana sudah ramai. Banyak pedagang angkringan. Sisi timur sedang alun-alun digunakan bermain bola, sedangkan sisi barat digunakan sebagai lahan penyewaan sepeda. Selepas salat maghrib, kami mencoba melewati pohon beringin itu. Saat itu, saya mencoba (kalau taksalah) tiga kali, tapi yang jelas saya berhasil melewati celah itu. Menurut teman saya, awalnya saya berbelok ke kanan cukup jauh, tapi saya kembali berbelok ke kiri dan akhirnya masuklah saya ke celah beringin itu. hhe… “berhasil, berhasil, berhasil…” #gayaDoraTheExplorer a.k.a @Anita Rima Dewi

Saya bukanlah orang yang percaya terhadap mitos-mitos seperti itu. Menurut saya, hal itu hanyalah kebetulan, tak ada hubungannya dengan mistik, karena tak mungkin kita dapat mengukur ketulusan hati seseorang hanya dengan melewati pohon yang dikeramatkan tersebut. Menurut saya, ketulusan hati bukan diukur dalam beberapa saat seperti itu, melainkan diukur berdasarkan niat kita melakukan sesuatu. #agak.sotoy.nih …hha…

Akan tetapi, buat saya, ada hikmahnya juga kejadian itu. Saya jadi berusaha mewujudkan apa yang disimpulkan orang dari kejadian itu: berusaha memiliki ketulusan hati yang sesungguhnya. Meskipun saya tahu hal itu sangat sangat sangat sulit, sedikit-sedikit saya akan mencobanya: menjadi manusia yang lebih baik. Amien…

-->
Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar mitos beringin kembar (penduduk menyebutnya Wringin Kurung) yang ada di tengah-tengah Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta. Atau bahkan mungkin ada pula yang pernah mencobanya. Bagaimana? Berapa kali kalian mencobanya? Berhasilkah? Ya…konon, orang yang berjalan dari ujung alun-alun hingga dapat melewati celah (selebar kira-kira 12 meter) di antara kedua pohon beringin tersebut dengan menutup matanya adalah orang-orang yang memiliki hati yang tulus dan bersih serta segala harapannya akan terwujud.
Jika dilihat, berjalan lurus (dari depan pendopo utara hingga tengah alun-alun kurang lebih 20 meter) dengan mata tertutup untuk melewati celah di antara dua beringin tersebut memang terlihat mudah. Namun, tidak semua orang dapat melewatinya. Beberapa teman yang pernah mencobanya merasa sedang berjalan berbelok ke kiri, tetapi pada kenyataannya mereka berbelok ke kanan, atau sebaliknya. Ada juga yang merasa berjalan lurus, tetapi nyatanya mereka berbelok semakin menjauh dari pohon beringin. Banyak kejadian lucu saat kita berada di sana. Kita dapat melihat kejadian yang saya sebutkan tadi, ada juga yang hanya berputar-putar saja mengelilingi pohon beringin (kalau yang ini, temannya iseng, nggak nyuruh menyudahi aksi ngocol ini).
Banyak sekali (nggak juga sih) cerita di balik kejadian ini yang dihubungkan dengan kejadian mistis. Ada mengatakan, di depan Wringin Kurung tersebut ada barisan makhluk halus yang bergandengan tangan dengan erat dan membentuk barisan yang membelok ke kanan (menurut teman, memang banyak wisatawan yang akhirnya berjalan berbelok ke kanan, rasanya sedang berjalan lurus padahal sedang berjalan berbelok ke kanan).

Lalu bagaimana sebenarnya mitos itu bisa terbentuk? Menurut warga Yogja (lebih tepatnya seorang teman yang kuliah dan ngekos di Yogja), ceritanya seperti ini.
Kejadian ini terjadi ketika Sultan Hamengkubuwono I berkuasa (1755—1792). Saat itu putri Sultan akan dipinang seorang pangeran. Akan tetapi, sang putri tidak mencintainya. Sang putri pun membuat akal-akalan agar pangeran itu tak jadi menikahinya. Sang putri memberi syarat bahwa yang dapat menikahinya adalah orang yang dapat berjalan dengan mata tertutup dari pendopo utara Alun-Alun Kidul melewati celah antara dua beringin kembar di tengah alun-alun hingga selesai di pendopo selatan. Setelah dicoba, ternyata pangeran tak berhasil.
Akhirnya, Sultan bersabda “Orang yang dapat melewati celah beringin kembar tersebut hanyalah orang yang hatinya benar-benar bersih dan tulus.” Pada akhirnya, sang putri pun dipinang oleh pemuda dari Siliwangi yang berhasil melaksanakan syarat tersebut. Secara politik (kata anak jurusan Sejarah), memang diketahui muncul kekerabatan yang erat antara Mataram dengan Kerajaan Siliwangi.

Begitulah cerita yang saya dengar dari seorang teman dan beberapa sumber lain. Sampai saat ini, banyak wisatawan yang mencoba melewati beringin kembar tersebut. Jika berkunjung ke Alun-Alun Kidul pada malam hari, kalian akan melihat banyak orang yang melakukan hal tersebut. Otak bisnis orang Jogja pun berjalan. Selain, tentu saja, banyak pedagang makanan angkringan, ada pula pedagang yang menyewakan penutup mata, dua ribu untuk seorang.

Jadi, siapa yang pernah mencobanya?
Sayaaa…!!! Saya pernah mencobanya. Pertama kali saat saya sedang SPMB tahun 2006 di Jogja (sempet ya paginya mau SPMB, malemnya malah maen-maen sampe tengah malem…hha…). Saat itu, bersama tiga orang teman, saya mencoba hingga tiga kali, dua kali di antaranya saya berhasil melewati celah beringin kembar tersebut. Teman saya tak ada yang berhasil, bahkan mereka malah menuduh saya ngintip…zzz… Padahal, saya sama sekali tak ngintip.
Kedua kalinya (saat Sekaten 2010) saya bersama tiga teman saya liburan ke Jogja. Sekembalinya dari Kotagede melihat industri kerajinan perak, selepas asar kami sudah berada di Alun-Alun Kidul, menyewa sepeda-gandeng-tiga hingga maghrib. Suasana di sana sudah ramai. Banyak pedagang angkringan. Sisi timur sedang alun-alun digunakan bermain bola, sedangkan sisi barat digunakan sebagai lahan penyewaan sepeda. Selepas salat maghrib, kami mencoba melewati pohon beringin itu. Saat itu, saya mencoba (kalau tak salah) tiga kali, tapi yang jelas saya berhasil melewati celah itu. Menurut teman saya, awalnya saya berbelok ke kanan cukup jauh, tapi saya kembali berbelok ke kiri dan akhirnya masuklah saya ke celah beringin itu. hhe… “berhasil, berhasil, berhasil…” #gayaDoraTheExplorer
Saya bukanlah orang yang percaya terhadap mitos-mitos seperti itu. Menurut saya, hal itu hanyalah kebetulan, tak ada hubungannya dengan mistik, karena tak mungkin kita dapat mengukur ketulusan hati seseorang hanya dengan melewati pohon yang dikeramatkan tersebut. Menurut saya, ketulusan hati bukan diukur dalam beberapa saat seperti itu, melainkan diukur berdasarkan niat kita melakukan sesuatu. #agak.sotoy.nih …hha…
Akan tetapi, buat saya, ada hikmahnya juga kejadian itu. Saya jadi berusaha mewujudkan apa yang disimpulkan orang dari kejadian itu: berusaha memiliki ketulusan hati yang sesungguhnya. Meskipun saya tahu hal itu sangat sangat sangat sulit, sedikit-sedikit saya akan mencobanya: menjadi manusia yang lebih baik. Amien…