Jumat, 30 Oktober 2009

Sejarah Perkamusan Indonesia

I. Pendahuluan

Bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bahasa Melayu. Dari sudut intern lingusitik, bahasa Indonesia merupakan salah satu varian historis, varian sosial, maupun varian regional dari bahasa Melayu. Dikatakan sebagai varian historis karena bahasa Indonesia merupakan kelanjutan dari bahasa Melayu, bukan dari bahasa lain di Asia Tenggara ini. Dikatakan varian sosial kerena bahasa Indonesia digunakan oleh sekelompok masyarakat yang menamakan diri bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan bangsa Malaysia atau bangsa Brunei yang menggunakan varian bahasa Melayu lain. Dikatakan varian regional karena bahasa Indonesia digunakan di wilayah yang sekarang disebut Republik Indonesia (Kridalaksana, 1991: 1).

Secara tepat pernyataan tersebut diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Konggres Bahasa Indonesia I di Solo pada tahun 1938.

Jang dinamakan ’bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ”Melajoe Riau’. Akan tetapi jang soedah ditambah dioebah atau dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean Bahasa Melajoe hingga mendjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.


Akan tetapi, sebelumnya telah dicetuskan nama bahasa Indonesia yaitu pada saat perumusan Sumpah Pemuda. Pada tanggal 2 Mei tahun 1926 diadakan rapat perumus hasil Kongres Sumpah Pemuda Pertama yang terdiri dari Mohammad Tabrani (ketua), Muhammad Yamin, Djamaludin, dan Sanusi Pane. Panitia tersebut menunjuk Muhammad Yamin untuk merumuskan Sumpah Pemuda. Hasil rumusannya adalah ”Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Air Indonesia; Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia; Kami poetra-poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melajoe.” Rumusan tersebut ditentang oleh ketua panitia dan akhirnya diganti menjadi ”[...] Kami poetra-poetri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Oleh karena itu tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Kelahiran Bahasa Indonesia.

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang menjadi dasar bahasa nasional di Indonesia dan Malaysia. Bahasa Melayu berkembang melalui dua jalur, yaitu (1) bahasa Melayu lisan yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari di kalangan priyayi, dan masyarakat luas, termasuk Cina peranakan yang bagi golongan masyarakat ini lazim disebut bahasa Melayu pasar, dan (2) bahasa Melayu yang dipakai dalam dunia persekolahan yang secara taat asas memakai model bahasa Melayu tinggi.

Sejarah bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari studi linguistik di Indonesia. Di Indonesia, studi linguistik mulai mendapat perhatian pada tahun 1960-an yang ditandai dengan kegiatan yang intensif terhadap studi deskriptif dan studi teoretis. Akan tetapi, pada masa itu studi historis kurang mendapat perhatian. Karya-karya linguistik sebagaian besar adalah karya deskriptif, seperti tata bahasa, semantik, sosiolinguistik, dialektologi, dan sebagainya.

Sejarah kajian bahasa Indonesia berusaha memahami perkembangan konsep tentang bahasa atau konsep tentang aspek-aspek linguistik sebagaimana dipaparkan dalam karya-karya para peneliti linguistik. Sejarah kajian bahasa membantu memahami apakah karya seseorang itu sesuatu yang baru sama sekali atau penerusan saja dari tradisi yang pernah ada. Peneliti berusaha merekonstruksi masa lampau ilmu bahasa, yaitu tentang apa saja yang telah diungkapkan orang tentang bahasa atau tentang sektor-sektor bahasa tertentu. Sejarah kajian dibagi ke dalam 8 subkajian, yaitu sejarah tata bahasa, sejarah perkamusan, sejarah pembinaan bahasa, sejarah pengajaran bahasa Indonesia, sejarah pengaruh tradisi kajian bahasa lain dalam bahasa Indonesia, bibliografi, biografi tokoh-tokoh bahasa Indonesia, dan tinjauan kritis tentang penyelidikan bahasa Indonesia dan sejarah bahasa Indonesia.

Dalam makalah ini, saya akan mencoba menjelaskan sejarah perkamusan di Indonesia. Penjelasan ini diawali dengan penjelasan perkamusan di dunia dan dilanjutkan dengan uraian mengenai bagaimana latar belakang perkamusan Indonesia, awal mula kamus bahasa Indonesia dan perkembangannya hingga seperti sekarang ini.


II. Kamus dan Perkamusan

Kamus merupakan buku atau sumber acuan yang memuat kata atau ungkapan yang biasanya disusun secara alfabetis dengan keterangan tentang makna, pemakaian, atau terjemahannya. Idealnya, sebuah kamus memuat perbendaharaan kata yang tidak terbatas jumlahnya. Kamus memiliki fungsi dan manfaat praktis bagi berbagai kalangan. Kamus berfungsi sebagai alat dokumentasi bahasa, yaitu tidak hanya memuat keterangan bila sebuah lema masuk ke dalam suatu bahasa, tetapi juga menggambarkan makna lema yang ada secara tuntas termasuk perkembangannya.

Kata kamus berasal dari kata dalam bahasa Arab qamus. Kata Arab itu sendiri berasal dari kata dalam bahasa Yunani okeanos yang bererti ’lautan’. Sejarah kata tersebut memperlihatkan makna dasar yang terkandung dalam kata kamus, yaitu wadah pengetahuan, khususnya pengetahuan bahasa, yang tidak terhingga dalam dan luasnya, seluas dan sedalam lautan. Dalam bahasa Inggris, kata yang mewakili konsep makna ’kamus’ adalah dictionary yang berasal dari bahasa Latin, yaitu dictionarium. Definisi kamus juga dijelaskan oleh beberapa ahli, yaitu di antaranya:

a. Harimurti Kridalaksana
Kamus adalah buku referensi yang memuat daftar kata atau gabungan kata dengan keterangan mengenai pelbagai segi maknanya dan penggunaannya dalam bahasa; biasanya disusun menurut abjad (dalam tradisi Yunani—Romawi menurut abjad Yunani—Romawi), kemudian menurut abjad bahasa bersangkutan; dalam tradisi Arab menurut urutan jumlah konsonan.

b. Gorys Keraf
Kamus merupakan sebuah buku referensi yang memuat daftar kata-kata yang terdapat dalam sebuah bahasa, disusun secara alfabetis disertai keterangan cara menggunakan kata itu.

c. John W.M. Verhaar
Perkamusan adalah karya pengkhazanahan kata-kata dalam bentuk buku yang sedemikian rupa sehingga setiap kata dapat dicari dalam urutan alfabetis. Perkamusan termasuk bidang linguistik dan juga bidang sastra karena pentingnya berkas yang tetap dari perbendaharaan kata di dalam setiap bahasa. Lazimnya dalam kamus memuat juga kata-kata yang masih dikenal orang sedikitnya secara reseptif dan yang dipakai secara produktif. Dengan demikian kamus yang baik adalah menyumbangkan banyak pada penambahan diakronik pada leksikon sinkronik.

Fungsi utama kamus adalah sebagai media penghimpun konsep-konsep budaya. Selain itu, kamus juga berfungsi praktis, seperti sarana mengetahui makna kata, sarana mengetahui lafal dan ejaan sebuah kata, sarana untuk mengetahui asal-usul kata, dan sarana untuk mengetahui berbagai informasi mengenai kata lainnya.

Kamus bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan berkaitan dengan urusan pekerjaan, belajar untuk menjadi seorang yang berprestasi, hidup bertetangga sehingga masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki citra bahasa yang kuat (Dumaria, 2009: 1).

Berdasarkan bahasa sasarannya, kamus dapat dibedakan menjadi kamus ekabahasa (monolingual), kamus dwibahasa (bilingual), dan kamus aneka bahasa (multilingual). Kamus ekabahasa merupakan kamus yang bahasa sumbernya (lema/entri) sama dengan bahasa sasarannya (glos). Kamus dwibahasa merupakan kamus yang bahasa sumbernya (lema/entri) tidak sama dengan bahasa sasarannya (glos). Kamus aneka bahasa merupakan kamus yang kata-kata bahasa sumber dijelaskan dengan padanannya dalam tiga bahasa atau lebih.

Berdasarkan ukurannya, kamus dapat dibedakan menjadi kamus besar dan kamus terbatas (kamus saku dan kamus pelajar). Kamus besar adalah kamus yang memuat semua kosakata, termasuk gabungan kata, idiom, ungkapan, peribahasa, akronim, singkatan, dan semua bentuk gramatika dari bahasa tersebut, baik yang masih digunakan maupun yang sudah arkais. Sementara itu, kamus terbatas adalah kamus yang jumlah katanya dibatasi, begitu juga dengan makna dan keterangan-keterangan lain dibatasi. Kamus terbatas digolongkan menjadi kamus saku dan kamus pelajar.

Berdasarkan isinya, kamus dibedakan menjadi kamus lafal (berisi penjelasan pelafalan tiap lema), kamus ejaan (berisi lema yang sesuai dengan ejaan), kamus sinonim (penjelasan makna berupa sinonim), kamus antonim (penjelasan makna berupa antonim), kamus homonim (mendaftarkan bentuk yang berhomonim dan penjelasannya), kamus ungkapan/idiom (memuat satuan bahasa berupa ungkapan), kamus singkatan/akronim, kamus etimologi (penjelasan berupa asal-usul kata dan perkembangannya), dan kamus istilah (memuat istilah dalam bidang tertentu).

Penyusunan sebuah kamus merupakan proses yang panjang. Setiap tahap dalam proses ini merupakan kumulasi dari penelitian dan analisis serta kegunaan praktis kamus dari hasil proses sebelumnya. Setiap penerbitan kamus diarahkan pada kecermatan pencatatan bahasa dan kesempurnaan setinggi-tingginya. Akan tetapi, setiap penerbitan tidak dapat dilepaskan dari ”ideologi bahasa” dan tiap editor menyesuaikan terbitannya sesuai dengan selera publik (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: xxv).

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penyusunan kamus tidak dapat terlepas dari ideologi yang melatarbelakangi penyusunan kamus. Bapak Leksikografi Inggris, Samuel Johnson, penyusun kamus Dictionary of the English Language (1755) mengatakan bahwa kamus berfungsi menjaga kemurnian bahasa. Konsep inilah yang kemudian memunculkan kamus preskripitif, yaitu kamus yang menunjukkan benar dan salah. Konsep ini dikembangkan oleh Noah Webster, Bapak Leksikografi Amerika, penyusun kamus An American Dictionary of English Language (1828). Konsep ini bertentangan dengan konsep yang melandasi penyusunan kamus-kamus modern, seperti A New English Dictionary on Historical Principles (1934) atau Kamus Oxford, dan Webster’s Third New International Dictionary (1961) yang merekam kosakata secara cermat tanpa mendikte yang benar dan yang salah (Chaer, 2007: 190—191).

Selain kamus, ada dua jenis referensi lain, yaitu ensiklopedia dan tesaurus. Ensiklopedia memberikan uraian yang terperinci tentang berbagai cabang ilmu atau bidang ilmu tertentu dalam artikel-artikel yang terpisah sesuai dengan pengelompokan kategori. Tesaurus merupakan sarana untuk mengalihkan gagasan ke kata atau sebaliknya. Tesaurus bukan menerangkan makna kata atau menjelaskan tentang acuan kata, tetapi berisi kata-kata sebagai superordinat (hipernimi) dengan sejumlah kata-kata yang termasuk dalam superordinat, sebagai bagian dari satu sistem budaya.


III. Tradisi Perkamusan di Indonesia

Keadaan dunia perkamusan di Indonesia tidak sama dengan yang terjadi di negara-negara maju di dunia. Sejarah leksikografi di Indonesia dimulai dengan adanya catatan kosakata yang kurang lebih berjumlah 500 buah lema, Daftar Kata Cina Melayu, yang ditulis pada awal abad ke-15. Selanjutnya, pada tahun 1522, seorang pakar bahasa yang mengikuti pelayaran Magelheans mengelilingi dunia bernama Pigafetta menulis Daftar Kata Italia Melayu.

Kamus tertua dalam sejarah leksikografi Indonesia adalah Spraek ende woor-boek, Inde Malayshe ende Madagaskarche Taen Met Vele Arabische ende Tursche Woorden (1603) karangan Frederick de Houtman dan Vocabularium offe Woortboek naerorder vanden Alphabet in’t Duystch-Maleys Duytch (1623) karangan Casper Wiltens dan Sebastian Danckaerts. Kedua kamus Melayu tersebut jelas lebih tua daripada Lexicon Javanum (1706) yang disimpan di perpustakaan Vatikan dan dianggap sebagai kamus Jawa tertua dan lebih tua daripada kamus Sunda tertua, Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek (1841) yang ditulis oleh A. de Wilde. Selanjutnya, ada pula kamus bahasa asing-bahasa Melayu karya R. O. Winstedt, An Unbridged Malay-English Dictionary (cetakan ke-3, 1960) dan A Malay-English Dictionary karya R. J. Wilkinson (part I, 1901). Selain itu, disusun pula kamus yang berjudul A Dictionary of the Malayan Language yang disusun oleh William Marsden. Kamus ini disusun dalam dua bagian, yaitu Melayu-Inggris dan Inggris-Melayu.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perkamusan di Indonesia dimulai dari kamus-kamus dwibahasa, berbeda dengan di Eropa dan Amerika yang dimulai dari kamus-kamus ekabahasa. Pada zaman kolonial, kamus dwibahasa yang disusun pada umumnya, yakni bahasa asing-bahasa Nusantara atau sebaliknya, bahasa Nusantara-bahasa asing. Bahasa Nusantara tersebut seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, dan Bali. Hanya terdapat satu kamus dwibahasa Nusantara, yaitu kamus yang pertama kali dibuat oleh orang Indonesia, yakni Baoesastra Melajoe-Djawa (1916) karangan R. Sastrasoeganda.

Kamus ekabahasa yang pertama dibuat oleh orang Indonesia adalah Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamoes Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga Penggal yang Pertama yang disusun oleh Raja Ali Haji dari Riau. Selain itu, dalam bahasa Jawa terdapat Baoesastra Djawa (1930) yang disusun oleh W.J.S Poerwadarminta, C.S. Hardjasoedarma, dan J.C. Poedjasoedira. Dalam bahasa Sunda terdapat Kamoes Bahasa Soenda (1948) yang disusun oleh R. Satjadibrata. Kedua kamus bahasa daerah ini dianggap sebagai pelopor kamus ekabahasa di kedua bahasa tersebut.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dan dengan adanya semangat Sumpah Pemuda 1928, serta dijadikannya bahasa Indonesia dalam UUD 1945 sebagai bahasa negara, usaha-usaha untuk memantapkan dan menyebarluaskan bahasa Melayu-Indonesia semakin marak. Ketika itu, banyak diterbitkan baik kamus ekabahasa bahasa Indonesia maupun buku kamus istilah. Selain itu, juga terbit kamus bahasa daerah-bahasa Indonesia atau kamus bahasa Indonesia-bahasa daerah. Kamus-kamus yang pernah ada hingga tahun 1976 dapat dilihat dalam buku Bibliografi Perkamusan Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tahun 1976.

Perkamusan di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu perkamusan Indonesia sebagai hasil kerja pribadi, perkamusan Indonesia yang dilaksanakan di luar negeri, dan perkamusan oleh Pusat Bahasa. Perkamusan Indonesia sebagai hasil kerja pribadi mempunyai arti penting dalam perkembangan dan pengembangan bahasa Indonesia, baik dalam format kecil maupun besar. Kamus berformat besar di antaranya Kamus Indonesia, E. St. Harahap (cetakan ke-9, 1951), Kamus Bahasa Indonesia, Hasan Noel Arifin (1951), Kamus Modern Bahasa Indonesia, St. Moh. Zain, dan Kamus Umum Bahasa Indonesia, W. J. S. Poerwadarminta.

Adapun kamus yang berformat kecil yang disusun dengan tujuan terbatas, antara lain Logat Kecil Bahasa Indonesia oleh W. J. S. Poerwadarminta (1949), Kamus Bahasaku oleh B. M. Nur (1954), Kamus Saku Bahasa Indonesia oleh Reksosiswojo, dkk. (1969), Kamus Bahasa Indonesia untuk Remaja oleh Ali Marsaban, dkk. (1974), Kamus Sinonim Bahasa Indonesia oleh Harimurti Kridalaksana (1974), Kamus Idiom Bahasa Indonesia oleh Abdul Chaer (1982), dan Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia oleh Abdul Chaer (1997). Muncul pula kamus-kamus bahasa daerah dengan penjelasan bahasa Indonesia, seperti Kamus Dialek Jakarta oleh Abdul Chaer (1976), Kamus Jawa Kuno-Bahasa Indonesia oleh L. Mardiwasito (1978), Kamus Bahasa Bali oleh Sri Reski Anandakusuma (1986), dan Kamus Bahasa Malaysia-Indonesia oleh Abdul Chaer (2004).

Dengan maraknya penelitian bahasa Indonesia di luar negeri, muncullah kamus-kamus bahasa Indonesia-bahasa asing atau sebaliknya, bahasa asing bahasa Indonesia. Kamus-kamus tersebut misalnya Dictionaire Indonesien-Franḉais (1984) karangan P. Labrouse yang terbit di Perancis, An Indonesian-English Dictionary (1963) dan An English Indonesian-Dictionary (1975) karangan John M. Echols dan Hassan Shadily yang terbit di Amerika, Comtempporary Indonesian-English Dictionary (1981) karangan A. Edi Schmidgall Tellings dan Alan M. Stevens, Kamus Baru Bahasa Indonesia-Tionghoa (1989) karangan Liang Liji yang terbit di Republik Rakyat Cina, Kamus Besar Bahasa Indonesia-Rusia (1990) karangan R.N. Rorigidskiy yang terbit di Rusia, serta Indonesiech-Nederlands Woordenboek karangan A. Teeuw yang terbit di Belanda. Selain itu, terbit pula kamus bahasa Melayu di Malaysia yaitu Kamus Dewan (1970) karya Teuku Iskandar dan Kamus Lengkap (1977) karya Awang Sudjai Hairul.

Selain kamus-kamus di atas, muncul pula kamus-kamus bahasa daerah. Kamus-kamus bahasa daerah yang muncul di Indonesia juga ikut mewarnai perkembangan sejarah perkamusan di Indonesia. Kamus-kamus yang bahasa daerah yang muncul di antaranya dalam bahasa Aceh, Gayo, Batak, Minangkabau, Rejang, Nias, Madura, Sunda, dan Jawa.

Kamus bahasa Aceh yang terbit pada masa-masa awal perkembangan leksikografi di Indonesia adalah Woordenboek der Atjehsche taal (1889) karangan Van Langen, Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek (1934) karangan Hoesein Djajadiningrat, Kamus Aceh Ringkas Atjehsch Handwoordenboek (1931) karangan Kreemer, Nederlandsch-Atjehsche Woordenlijst (1906) karangan Veltman, dan sebagainya.

Kamus dalam bahasa Gayo dirintis oleh Snouck Hurgronje. Berdasarkan catatan tersebut disusunlah kamus Gayo yang dikembangkan oleh Njaq Poeteh dan Aman Ratoes serta dibantu oleh dua orang Gayo. Hasil penelitian dan kerja mereka tersebut menghasilkan Gajosch-Nederlandsch Woordenboek met Nederlansch-Gajosch Register (1907).

Kamus dalam bahasa Batak diawali oleh H.N. van der Tuuk. Kamus yang disusun adalah kamus bahasa Batak Toba, Batak Dairi, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Van der Tuuk menyusun kamus berjudul Bataksch-Nederduitsch Woordenboek (1861). Kamus bahasa Batak yang lainnya adalah kamus yang disusun oleh J. Warneck dan berjudul Tobabataksch-Deutsch Worterbuch (1906). M. Joustra juga menulis kamus bahasa batak dengan ditulis dengan abjad Romawi yang berjudul Batak Karo-Nederlandsch Woordenboek (1907) yang kemudian direvisi oleh J.H. Neumann pada tahun 1951.

Kamus bahasa Melayu dan Minangkabau disusun oleh Van der Toorn dengan judul Minangkabau-Maleisch-Nederlandsch Woordenboek (1891) yang penyusunannya berdasarkan abjad Melayu-Arab serta menggunakan tulisan Arab dan Romawi. Kamus bahasa Rejang, menurut catatan Marsden yaitu glosarium yang disusun oleh Hasselt (1881) dan daftar kata Maleisch-Redjangsch Woordenlijst (1926) yang disusun oleh Wink.

Kamus bahasa Nias adalah kamus Jerman-Nias Deutsch-Niassisches Worterbuch (1892) dan kamus Nias-Jerman Niassisch-Deutsches Worterbuch (1905) yang disusun oleh Sundermann. Selain itu, ada juga kamus Nias-Melayu-Belanda, Niasch-Maleisch-Nederlansch Woordenboek (1887) yang disusun oleh Thomas dan Teylor Weber.

Kamus bahasa Madura diawali dengan kamus yang disusun oleh Kiliaan yang berjudul Nederlansch-Madoereesch Woordenboek (1898). Kemudian, Penniga dan Hendriks menyusun kamus Madura-Belanda, Practisch Madurees-Nederlandsch Woordenboek (1913). Kamus bahasa Sunda diawali dengan penerbitan kamus yang disusun oleh Jonathan Rigg pada tahun 1862. Pada tahun 1887 Oosting menerbitkan kamus Belanda-Sunda, Nederduitsch-Soendasch Woordenboek. Greedink dan Coolsma melanjutkan perkamusan bahasa Sunda. Greedink menerbitkan kamus yang terdiri atas 400 halaman dan Coolsma yang didukung oleh Van der Tuuk pada tahun 1944.

Kamus bahasa Jawa tertua adalah Lexicon Javanum (1706) yang tidak diketahui penyusunnya. Selain itu, ada pula Kamus Jawa yang disusun oleh Roorda, Kamus Kawi-Jawa yang disusun oleh Winter dan diterbitkan oleh Van der Tuuk, Kamus Kawi-Bali-Belanda yang disusun oleh Van der Tuuk dan diterbitkan oleh Brander dan Rinkes pada tahun 1912.

Selain kamus-kamus dalam bahasa daerah seperti yang telah dipaparkan di atas, terdapat pula kamus-kamus yang merupakan buku-buku referensi mengenai berbagai macam bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan yang disusun secara alfabetis. Semakin berkembangnya kehidupan dan ilmu pengetahuan, kamus semacam ini juga semakin banyak beredar di masyarakat. Kamus-kamus seperti ini misalnya Kamus Istilah Kimia dan Farmasi (1976) oleh ITB, Kamus Istilah Ilmu dan Teknologi (1976) oleh H. Johannes, Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia (1976) oleh J.S. Badudu, Kamus Linguistik Indonesia (1982) oleh Harimurti Kridalaksana, Kamus Peribahasa (1987) oleh Sarwono Pusposaputro, Kamus Singkatan dan Akronim Baru dan Lama (1991) oleh Ateng Winarno, Kamus Biologi (1999) oleh Mien A. Rifai, Kamus Kimia (1999) oleh Hadyana Pudjaatmaka, Kamus Fisika (2000) oleh Liek Wilardjo, dan sebagainya.


IV. Peran Pemerintah dalam Perkembangan Perkamusan Indonesia

Perkembangan perkamusan di Indonesia tidak pernah dapat dilepaskan dari peran dan tanggung jawab sebuah lembaga pemerintah yang mengurusi masalah kebahasaan, yaitu Pusat Bahasa Republik Indonesia yang pada awalnya merupakan lembaga bahasa di Universiteit van Indonesia. Ketika masih bernama Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan Universitas Indonesia, Pusat Bahasa berhasil menerbitkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1953) karangan W. J. S. Poerwadarminta. Kamus ini dianggap sebagai tonggak pertumbuhan leksikografi Indonesia. Pada tahun 1966, kamus ini mengalami cetak ulang yang ke-4, dan tahun 1976 mengalami cetak ulang yang ke-5 dengan ejaan yang telah disesuaikan dengan EYD. Cetakan ke-5 ini disusun dan disesuaikan ejaannya oleh Bidang Perkamusan Pusat Bahasa Republik Indonesia yang terdiri dari Harimurti Kridalaksana (konsultan), Sri Timur Suratman (koordinator), Sri Sukesi Adiwimarta (koordinator) serta beberapa anggota. Selain itu, pada edisi kelima, kamus ini juga mengalami penambahan 1.000 kosakata. Pengolahan edisi ini dilakukan sejak tahun 1972 sampai tahun 1974. Hingga tahun 1987, kamus ini telah dicetak ulang sebanyak sepuluh kali.

Pada tahun 1974 Pusat Bahasa—ketika itu bernama Lembaga Bahasa Nasional—menyelenggarakan penataran leksikografi dalam rangka meningkatkan mutu leksikograf Indonesia. Penataran ini diisi oleh beberapa pengajar leksikografi dari luar dan dalam negeri. Pengajar utama dalam penataran ini adalah Prof. Dr. A. Teeuw (Belanda), Prof. Dr. Baker (Amerika), dan Dr. Jack Prentice (Inggris). Peserta penataran ini adalah perwakilan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan tentu saja staf Pusat Bahasa. Kegiatan ini telah menghasilkan puluhan tenaga perkamusan yang kemudian menghasilkan kamus-kamus bahasa daerah di Indonesia.

Pada tahun 1985 Pusat Bahasa kembali mengadakan penataran leksikografi yang pesertanya juga merupakan perwakilan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, staf Balai Bahasa dari berbagai daerah di Indonesia, dan staf Pusat Bahasa. Penataran ini dimaksukan untuk lebih meningkatkan penyusunan kamus bahasa daerah-bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia.

Setelah menerbitkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1953) karangan W. J. S. Poerwadarminta, Pusat Bahasa kembali menerbitkan apa yang disebut kamus ”generasi baru” yaitu Kamus Bahasa Indonesia. Kamus ini tidak beredar bebas, tetapi hanya pada kalangan tertentu saja. Kamus ini dimaksudkan agar menjadi kamus besar dan kamus baku. Akan tetapi, melihat jumlah lema dan informasi yang disajikan di dalamnya, kamus ini belum layak disebut sebagai kamus besar. Oleh karena itu, Pusat Bahasa membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun sebuah kamus besar. Tim ini dipimpin oleh Anton M. Moeliono yang bertindak sebagai penyunting penyelia. Kamus yang diberi nama Kamus Besar Bahasa Indonesia ini diterbitkan pada saat Konggres Bahasa Indonesia V pada tanggal 28 Oktober 1988. Edisi pertama ini memuat kurang lebih sebanyak 62.000 buah lema.

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama ini dicetak ulang sekaligus mengalami revisi sebanyak empat kali, yaitu berturut-turut pada tahun 1988, 1989, 1990, dan 1990. Mengingat banyaknya saran dan kritik dari berbagai pihak, disusun dan direvisilah edisi pertama ini sehingga terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua pada tahun 1991 yang disusun di bawah pimpinan Hasan Alwi. Jumlah lema yang ada dalam edisi ini kurang lebih 72.000. Edisi kedua ini juga mengalami cetak ulang dan tentu saja revisi sebanyak sepuluh kali, yaitu pada tahu 1991, 1992, 1994, 1995, 1995, 1996, 1996, 1996, 1997, dan 1999. Edisi kedua ini juga mengalami perbaikan pula sehingga terbitlah Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga pada tahun 2001 yang disusun di bawah pimpinan Dendy Sugono. Jumlah lema yang ada dalam edisi ini kurang lebih 78.000 dan 2.034 peribahasa. Edisi ketiga ini mengalami cetak ulang dan revisi sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2001, 2002, dan 2005.

Dalam rangka memperingati Bulan Bahasa Indonesia tahun 2008, Pusat Bahasa kembali menerbitkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru, yaitu edisi keempat pada bulan Oktober 2008. Edisi keempat ini tentu saja mengalami peningkatan jumlah lema. Lema yang ada di edisi keempat ini sebanyak 90.049 lema yang terdiri dari 41.250 buah lema pokok dan 48.799 buah sublema. Selain itu, peribahasa dalam edisi ini juga bertambah dua buah menjadi 2.036 buah peribahasa.

Edisi keempat ini tidak hanya mengalami perkembangan jumlah lema dan sublema, tetapi juga mengalami perbaikan definisi atau penjelasan lema dan sublemanya. Perbaikan tersebut meliputi penambahan makna—akibat perkembangan pemakaian bahasa—, perbaikan untuk penulisan nama latin hewan dan tumbuhan, perubahan urutan sublema, dan perbaikan isi lampiran. Pengurutan sublema yang merupakan bentuk derivasi dari lema pokok tidak lagi didasarkan pada urutan alfabetis, tetapi didasarkan pada paradigma pembentukan kata. Adapun proses pendefinisian dilakukan dengan cara mengelompokkan lema berdasarkan kategori yang sama kemudian digabungkan lagi setelah diperbaiki dan diurutkan kembali secara alfabetis. Perbaikan-perbaikan ini dilakukan berdasarkan saran dan kritik dari masyarakat yang disampaikan kepada Pusat Bahasa.

Cara penulisan bentuk derivasi dalam KUBI, KBBI edisi pertama dan edisi ketiga sama, yaitu menggunakan kriteria verba dulu, baru nomina. Pengurutan verbanya adalah mengguakan urutan yang diawali dengan ber-, lalu meng-, ter-, dan memper-. Setelah itu baru disusul bentuk derivasi nomina dan yang berimbuhan ke- atau –an yang dapat berupa verba maupun nomina. Adapun dalam KBBI edisi keempat urutan yang digunakan dalam penyusunan lema tidak konsisten. Paradigma yang digunakan bermacam-macam, seperti urutan meng-, ter-, ber-; meng-, peng-, -an; ter-, ber-, ke-/-an; meng-, ter-, ber-, memper-; meng-, ter-, ber-, memper-, ke-/-an; dan sebagainya.

Dalam tradisi leksikografi, sebuah kamus setidaknya direvisi dalam waktu lima tahun sekali karena tidak ada satu pun kamus yang benar-benar lengkap. Oleh karena itu, sebuah kamus yang hidup adalah kamus yang terus mengikuti perkembangan zaman (Qodratillah, 2009: 2). Bahkan sering kali, sebelum kamus keluar dari percetakan pun, kamus tersebut sudah tertinggal dari perkembangan sebuah bahasa.


V. Tokoh Perkamusan Indonesia

Sejarah perkamusan di Indonesia tentu saja tidak dapat dilepaskan begitu saja dari peran tokoh-tokoh perkamusan di Indonesia. Banyak sekali tokoh yang memiliki peran penting dalam perkembangan perkamusan di Indonesia. Akan tetapi, dalam tulisan ini hanya akan sedikit dijelaskan beberapa tokoh perkamusan Indonesia serta perannnya dalam pengembangan dunia perkamusan di Indonesia.

a. Raja Ali Haji

Raja Ali Haji merupakan tokoh penting di dunia Melayu. Pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan dunia Melayu sangat terlihat melalui berbagai karya sastra dan lain-lain yang dijadikan rujukan dalam tradisi penulisan klasik maupun modern. Ia juga dikenal sebagai ulama yang banyak berpengaruh terhadap wacana dan tradisi pemikiran di dunia Melayu.

Kamus yang disusun oleh Raja Ali Haji yang berjudul, Kamoes Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga Penggal yang Pertama merupakan kamus ekabahasa yang pertama yang disusun oleh orang Indonesia. Pada masa-masa itu, kamus yang terbit kebanyakan adalah kamus dwibahasa dan disusun oleh orang-orang asing. Oleh karena itu, Raja Ali Haji dianggap sebagai orang Indonesia pertama yang menyusun kamus ekabahasa dalam bahasa Indonesia.


b. W.J.S. Poerwadarminta

Wilfridus Joseph Sabarija Poerwadarminta (1904–1968) adalah seorang leksikograf atau penyusun kamus ternama dari Indonesia. Dia mendapat julukan sebagai Bapak Perkamusan Indonesia. Karyanya terutama mencakup kamus bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Jepang, dan bahasa Latin. Dia tidak pernah belajar secara formal tentang kajian leksikografi. Akan tetapi, ia terlatih dengan sendirinya bagaimana menyusun kamus. Kamus Umum Bahasa Indonesia dianggap sebagai tonggak sejarah perkamusan di Indonesia. Kamus bersifat sederhana dan praktis serta merupakan kamus deskriptif yang lema dan penjelasannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada zamannya, KUBI merupakan kamus yang paling lengkap dengan jumlah entri sebanyak kurang lebih 27.000 buah.

Poerwadarminta layak disebut sebagai peletak dasar leksikografi di Indonesia karena ketelitiannya dalam menyusun kamus. Setiap kata yang ia temukan, baik dari khazanah kontemporer maupun lama, dicatat dalam kartu disertai keterangan mengenai sumber, batas-batas arti, serta bagaimana penggunaannya. Semua bahan serta teks-teks yang telah diambil kata-katanya disimpan baik-baik. Langkah selanjutnya adalah merumuskan makna sebuah kata dan menentukan pilihan di antara sekian varian bentuk kata. Tanpa rasa segan dan malu-malu, ia bertukar pikiran dengan orang yang ia pandang lebih ahli, seperti Poerbatjaraka, C. Hooykaas, atau A. Teeuw. Akan tetapi, ketika sampai pada keharusan menetapkan pilihan, ia mengedepankan otoritasnya sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip ilmu bahasa.


c. St. E. Harahap

Jasa Sutan Harahap dalam bidang bahasa cukup banyak dan dapat dikatakan mempelopori. Pada tahun 1914 bersama dengan D. Iken, Sutan Harahap membuat sejenis glosari yang berjudul Kitab Arti Logat Melajoe jilid pertama. Jilid kedua terbit pada tahun 1917. Kemudian kedua jilid tersebut kembali diterbitkan pada tahun 1923. Dalam kurun waktu 70 hari, dia berhasil menyusun sebuah kamus yang merupakan revisi dari Kitab Arti Logat Melajoe yang diubah namanya menjadi Kamus Indonēsia Ketjik.


d. Anton Moedardo Moeliono

Meskipun tidak secara pribadi menyusun sebuah kamus, Anton M. Moeliono adalah seorang tokoh yang cukup berperan dalam perkembangan perkamusan di Indonesia khususnya pascakemerdekaan RI. Dia adalah kepala dari proyek penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama yang berperan sebagai penyunting penyelia. Dia telah memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan bahasa Indonesia, terutama ketika menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa pada tahun 1984—1989. Dia bekerja di Pusat Bahasa sejak tahun 1960 dan menjabat antara lain sebagai Kepala Bidang Perkamusan, Ketua Komisi Istilah Seksi Linguistik, dan Wakil Ketua Komisi Istilah. Pada saat itu, dalam bidang perkamusan dan peristilahan, dia banyak berguru kepada Poerwadarminta yang ketika itu sedang menyusun kamus. Dalam penyusunan KBBI edisi keempat, dia juga ikut berperan sebagai penyumbang data.


VI. Kesimpulan

Kamus merupakan buku atau sumber acuan yang memuat kata atau ungkapan yang biasanya disusun secara alfabetis dengan keterangan tentang makna, pemakaian, atau terjemahannya. Idealnya, sebuah kamus memuat perbendaharaan kata yang tidak terbatas jumlahnya. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah perkamusan di Indonesia dimulai dengan daftas kata Cina-Melayu pada awal abad XV dan daftar kata Italia-Melayu yang disusun oleh Pigafetta.

Kamus tertua dalam sejarah leksikografi Indonesia adalah Spraek ende woor-boek, Inde Malayshe ende Madagaskarche Taen Met Vele Arabische ende Tursche Woorden (1603) karangan Frederick de Houtman dan Vocabularium offe Woortboek naerorder vanden Alphabet in’t Duystch-Maleys Duytch (1623) karangan Casper Wiltens dan Sebastian Danckaerts.

Perkamusan di Indonesia dimulai dari kamus-kamus dwibahasa, berbeda dengan di Eropa dan Amerika yang dimulai dari kamus-kamus ekabahasa. Kamus ekabahasa yang pertama dibuat oleh orang Indonesia adalah Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamoes Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga Penggal yang Pertama yang disusun oleh Raja Ali Haji dari Riau.

Perkamusan di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu perkamusan Indonesia sebagai hasil kerja pribadi, perkamusan Indonesia yang dilaksanakan di luar negeri, dan perkamusan oleh Pusat Bahasa. Selain itu, muncul pula kamus-kamus bahasa daerah, seperti kamus bahasa Aceh, Gayo, Batak, Minangkabau, Rejang, Nias, Madura, Sunda, dan Jawa.

Perkembangan kamus di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari peran Pusat Bahasa sebagai lembaga yang mengurusi permasalahan bahasa. Hingga saat ini Pusat Bahasa telah menerbitkan tiga kamus, yaitu Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. KBBI telah diterbitkan dalam empat edisi dan 18 kali cetak ulang.

Selain adanya peran dari pemerintah, beberapa tokoh juga ikut berperan dalam sejarah perkembangan perkamusan di Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya Raja Ali Haji, W.J.S. Poerwadarminta, St. Harahap, Anton M. Moeliono, dan sebagainya. Perkamusan di Indonesia, sebagaimana perkamusan pada umumnya, tidak akan pernah berhenti. Kamus selalu berkembang sesuai dengan perkembangan bahasa tersebut. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia akan selalu muncul kamus-kamus baru baik kamus besar, kamus istilah, maupun kamus-kamus khusus. Hal ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap perkembangan bahasa. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Harimurti Kridalaksana, fungsi kamus sebagai dokumentasi bahasa harus disadari sepenuhnya sebagai bangsa Indonesia. Kamus bukan hanya dituntut untuk memuat keterangan bila sebuah lema masuk ke dalam khasanah kata bahasa Indonesia, melainkan juga harus menggambarkan makna lema yang ada secara tuntas, termasuk perkembangannya.


Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi & Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesi:Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dumaria. 2009. “Manfaat Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Kehidupan Sehari-Hari,” disampaikan pada acara Bedah Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, Selasa, 24 Februari, di Bentara Budaya Jakarta.
Endarmoko, Eko dan Anton M. Moeliono. 2008. “W. J. S. Poerwadarminta Bapak Kamus Indonesia” dalam Tempo, edisi 13/XXXVII, 19 Mei.

Harahap, E. St. 1951. Kamus Indonesia. Bandung: G. Kolff & Co.

Kridalaksana, Harimurti. 2007. ”Leksikologi dan Leksikografi,” dalam Dasar-Dasar Leksikologi dan Leksokografi: Bahan Pelatihan Penyusunan Kamus Dwibahasa (Indonesia/Melayu—Asing, Indonesia/Melayu—Daerah). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Permanasari, Indira. 2005. “Mengenang Sosok Poerwadarminta,” dalam Kompas, 28 Oktober.

Poerwadarminta, W.J.S. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi kelima. Jakarta: Balai Pustaka.

Purwo, Bambang Kaswanti. 2009. “Bedah KBBI Edisi IV,” disampaikan pada acara Bedah Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, Selasa, 24 Februari, di Bentara Budaya Jakarta.

Qodratillah, Meity Taqdir. 2009. “Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV,” disampaikan pada acara Bedah Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, Selasa, 24 Februari, di Bentara Budaya Jakarta.

Smarapradhipa, Galih. 2009. “Membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,” disampaikan pada acara Bedah Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, Selasa, 24 Februari, di Bentara Budaya Jakarta.

Suratminto, Lilie. dan Munawar Holil (ed.). 2003. Rintisan dalam Kajian Leksikologi dan Leksikografi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Tim Penyusun. 2007. Dasar-Dasar Leksikologi dan Leksikografi: Bahan Pelatihan Penyusunan Kamus Dwibahasa. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Univeersitas Indonesia.

Verhaar, John W.M. 1995. ”Peranan Perkamusan dalam Perkembangan Bahasa dan Sastra,” dalam Lingusitik Indonesia: Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun 13, No. 1 dan 2, Juni dan Desember.

www.lib.fib.ugm.ac.id

www.wikipedia.com

Cerita, Penokohan, dan Amanat dalam Novel Ella Enchanted: Kutukan Sang Peri

Identitas buku

Judul asli : Ella Enchanted
Pengarang : Gail Carson Levine
Penerbit : Harper Trophy, New York, 1997
Penghargaan : Newberry Honor Book (Penghargaan Buku Remaja Terbaik di Amerika) Buku Anak Terpuji 1998, Buku Terbaik untuk Remaja 1998 versi ALA, Buku Pilihan Remaja 1998 versi ALA, Buku Terbaik 1997 versi School Library Journal, Buku Terbaik 1997 versi Publisher Weekly
Judul terjemahan : Ella Enchanted: Kutukan Sang Peri
Penerjemah : Lovely
Penerbit : Kaifa, Bandung, 2003

Novel ini bercerita tentang seorang anak bernama Ella yang sewaktu bayi dianugerahi sifat patuh oleh peri Lucinda. Sebenarnya ibu Ella menolak anugerah itu, tetapi Lucinda tak mau tahu. Ella baru sadar dengan kutukan itu ketika dia merayakan ulang tahunnya yang ke lima. Ayahnya, Sir Peter tidak tahu apa-apa tentang kutukan itu. Dia jarang bertemu Ella.

Saat Ella hampir berusia lima belas tahun, ia dan Ibunya terserang flu. Mandy menyuguhkan sup penyembuh yang terbuat dari sayuran dan seutas rambut kuda unicorn. Ella sembuh, tetapi ibunya malah bertambah parah. Lady Eleanor akhirnya wafat. Ella tak bisa menahan tangis. Dia berlari ke pohon weeping willon (pohon menangis) dan menangis di sana. Pengeran Charmout, putra Raja Jerrold, menghampiri Ella. Dia mampu menghibur Ella. Ayah memerintahkan Ella berganti pakaian untuk menemui Dame Olga serta kedua anaknya, Hattie dan Olive. Ella tidak suka dengan mereka.

Ella bertanya kepada Mandy siapakah peri pelindung yang sering dikatakan oleh ibunya. Ternyata peri pelindung keluarga Ella adalah Mandy. Ella tidak percaya karena Mandy tak bisa menyembuhkan ibunya dan menghapus kutukan. Mandy telah berusaha menyembuhkan, tetapi ibu menyingkirkan rambut kuda unicorn ketika makan sup penyembuh. Mandy tak bisa menghapus kutukan karena itu sihir besar. Hanya peri bodoh dan sombong yang menggunakan sihir besar. Mandy mengatakan semua keturunan Eleanor adalah sahabat peri. Dalam tubuh Ella juga mengalir darah peri meski hanya setetes.

Ella sering mengunjungi kebun binatang kerajaan. Banyak sekali binatang yang bisa berbicara. Di sana Ella bertemu dengan Pangeran Charmont. Ella pandai berbahasa Jembalang dan Kyrria dengan burung dan binatang Jembalang lainnya.

Ella dikirim ayahnya ke sekolah kepribadian putri. Mandy memberi buku ajaib, kalung milik Lady Elanor, dan sebotol tonik. Ella berangkat bersama Hattie dan Olive. Kalung dari ibunya diberikan kepada Hattie karena pengaruh kutukan itu.

Sesampainya di sekolah kepribadian putri, mereka langsung disambut Nyonya Edith, kepala sekolah dan pengelola asrama. Ella memberikan surat dan sekantong uang KJ perak dari ayahnya kepada kepala sekolah agar dia diterima di sekolah itu dengan mendadak tanpa mendaftar sebelumnya.

Seorang gadis Ayortha bernama Areida mendekati Ella dan mengajarkan menjahit. Ella bisa sedikit berbahasa Ayortha sehingga mereka cepat akrab. Ella juga minta diajarkan lebih banyak bahasa Ayortha. Ibu Guru Menjahit, Musik, Menari, Tata Krama menilai kemajuan Ella sangat baik. Nilai yang kurang baik hanya diberikan oleh Ibu Guru Menulis karena ia jarang memberi perintah.

Hattie tidak tahu tentang kutukan Lucinda, tetapi dia tahu Ella selalu patuh jika diberi perintah. Dia dan Olive sering memberi perintah kepadanya. Ella melarikan diri dari asrama. Dia ingin menemui ayahnya di Uaaxee yang menghadiri pesta pernikahan raksasa. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan bangsa Elf yang mengenal Sir Peter. Ella dipinjami kuda poni, diberi hadiah patung buatan Agulen, dan bekal untuk sampai ke Uaaxee.

Ella tertangkap oleh bangsa Orge pemakan daging manusia. Mereka telah memakan kuda poninya dan kini ingin memakan Ella. Dengan kata-katanya dalam bahasa Orge, Ella mampu menjinakkan para Orge. Pada saat itu Pangeran Charmout dan pasukannya datang. Mereka menangkap Orge. Sir Stephan, anak buah Pangeran mengantarkan Ella. Ella sampai di Uaaxee tepat pada hari pernikahan raksasa itu. Pesta pernikahan itu juga dihadiri para peri termasuk Lucinda. Dia memberi anugerah kepada mempelai agar mereka selalu bersama.

Ella mendekati Lucinda. Dia memohon agar kutukannya dicabut. Lucinda malah mengatakan bahwa Ella harus senang jika diperintah. Ella terpengaruh kutukan itu lagi. Kemudian Ella menemui ayahnya yang ternyata sudah bangkrut bisnisnya. Rumah telah dijual. Ella akan dijodohkan dengan pangeran Earl of Wolleck yang sudah tua tetapi belum menikah. Ayah Ella kemudian mengurungkannya karena sebagian besar harta Earl telah habis terbakar.

Ayah menikahi Dame Olga. Mereka diberi anugerah oleh Lucinda bahwa mereka akan selalu mencintai seumur hidup. Dame Olga merasa tertipu karena Sir Peter tak lagi kaya, tetapi karena kutukan itu ia tetap mencintai Sir Peter. Sebagai pembalasan, Dame Olga, Hattie, dan Olive menjadikan Ella sebagai pembantu ketika ayahnya pergi berdagang. Untung Mandy ikut bekerja di sana. Dia meminta agar Ella menjadi asistennya di dapur.

Suatu hari Pangeran Charmout datang berpamitan kepada Ella kerena dia akan pergi ke Ayortha. Ella dikurung di kamar. Ella mengirim surat ke Ayortha dan menceritakan yang sebenarnya. Pangeran Charmout membalas surat dengan dialamatkan kepada Mandy agar aman. Mereka sering bercerita dan bercanda dalam surat. Akhirnya Pangeran Char menuliskan bahwa dia mencintai Ella dan ingin menikah dengannya. Ella tidak ingin kerajaan ini hancur kerana Pangeran Char menikah dengannya, dia akan dijadikan alat perusak negara oleh orang jahat yang tahu tentang kutukan Lucinda.

Dia membalas surat dengan mengatakan sudah menikah dengan orang kaya dan sudah tua. Pangeran Char percaya dan membenci Ella. Dia mengira selama ini Ella hanya menipu dirinya.

Mandy memanggil Lucinda dan meminta agar dia mencabut semua kutukannya yang telah ia berikan kepada orang-orang. Lucinda menolak. Mandy menyuruh Lucinda untuk merasakan semua perbuatannya selama ini. Dia disuruh menjadi orang dengan kutukan-kutukannya. Setelah menuruti perintah Mandy, Lucinda menemuinya lagi. Lucinda menyesal telah memberi anugerah yang aneh-aneh kepada manusia. Tetapi dia sudah tak mampu menghapus semua kutukan itu.

Sepulang dari Ayortha, Pangeran Char mengadakan pesta dansa dengan memakai topeng. Ella juga ingin datang, tetapi dia tak punya baju bagus. Lucinda datang membantu Ella, dia memberikan baju, perhiasan, serta kereta yang diubah dari labu.

Pangeran Char tak sadar kalau yang diajak dansa adalah Ella yang mengaku bernama Lela dan berasal dari Ayortha. Mereka pun semakin akrab. Pada malam ketiga pesta dansa, Pangeran Char meminta Ella menyanyikan lagu berbahasa Ayortha. Sebelum naik ke panggung Hattie menarik topengnya. Ella berlari pulang menemui Mandy dan segera berganti pakaian sebagai juru masak.

Pangeran menyusul, di sana ia menyuruh semua pelayan keluar. Dia mengeluarkan selop dari mantelnya. Selop itu milik Ella dan hanya cukup di kakinya. Pangeran Char menyuruh Ella menikah dengannya. Ella takut akan akibat yang akan timbul nantinya. Dia mencoba melawan perintah Pangeran. Kutukan itu terus mempengaruhi pikiran Ella. Ella terus melawan perintah itu, sampai akhirnya dia mampu sehingga kutukan itu mampu dipatahkannya. Ella kemudian menerima pinangan Pangeran Char. Mereka menikah dan hidup berbahagia selamanya.

Ella adalah seorang tokoh yang tidak mudah menyerah. Dia selalu yakin akan bisa mematahkan kutukan peri itu. Apapun caranya dia akan selalu berusaha dengan sekuat tenaga. Bahkan dirinya hampir mati dimakan para Orge. Tetapi dengan keyakinannya dia mampu menjinakkan Orge yang akan memangsanya. Ella juga bukan tipe gadis yang gila harta dan kebangsawanan. Dia lebih memikirkan negara dan rakyatnya daripada kesenangan dirinya. Ella rela tidak menjadi permaisuri Pangeran Char karena takut dia akan dimanfaatkan orang yang ingin menghancurkan kerajaan. Dia selalu sabar menerima penderitaan yang sulit ia hancurkan. Meskipun Ella seorang putri orang kaya, dia tak sombong dan mau bergaul dengan anak pembantu di rumahnya.

Ella juga terkenal cerdas. Dia banyak menguasai bahasa asing bahkan bahasa binatang atau mahluk lain. Ella adalah tokoh yang nakal tetapi bisa membuat orang lain terpesona terhadap dirinya. Dengan semangatnya yang gigih, dia bisa menawan hati pembaca. Selain itu dia juga humoris dan berani.

Ella seorang yang rendah hati. Setelah menikah dengan Pangeran Char, ia tak mau bergelar putri. Ia bergelar Ahli Bahasa Istana dan Pembantu Juru Masak. Dia selalu mengikuti suaminya bertugas untuk belajar bahasa negeri yang dikunjunginya.

Pangeran Charmout adalah seorang pangeran yang gagah berani. Bersama dengan pasukannya, dia memburu para Orge yang memangsa manusia di negeri ini. Dia selalu melaksanakan tugas ayahnya dengan baik. Dia sangat mencintai Ella, walaupun Ella telah menyakiti hatinya dengan berbohong telah menikah dengan orang kaya yang sudah tua.

Mandy merupakan peri pelindung keluarga Elanour yang sangat setia. Sebagai seorang peri, ia tak mau diketahui oleh orang lain. Dia tak mau menggunakan sihir besar. Masakannya selalu selalu enak karena selain pandai memasak, ia juga selalu menambahkan sedikit sihir untuk menambah kenikmatan masakannya. Mandy selalu mendukung dan membantu Ella untuk bisa lepas dari kutukannya.

Sir Peter adalah orang tua yang hanya mengejar materi. Sebelum istrinya meninggal, ia tak terlalu perhatian kepada Ella. Ia selalu mementingkan urusan bisnisnya. Sir Peter rela menjodohkan Ella demi mengganti hartanya yang telah habis. Karena kurang kaya, dia menbatalkan perjodohan itu. Kemudian ia menikahi Dome Olga agar dirinya kembali kaya.

Hattie merupakan seorang gadis cerewet yang selalu iri dan jahat. Ia memanfaatkan kepatuhan Ella untuk kesenangannya. Ia tak ingin jika Ella hidup berbahagia dengan Pangeran Char. Hattie mencoba menghalangi hubungan mereka. Dia juga suka merebut barang-barang milik Ella yang ia suka. Seumur hidupnya dia tidak pernah menikah. Sedangkan adiknya, Olive seorang yang pendiam namun tak sopan. Ia mata duitan. Olive selalu meminta uang dari Ella. Dia menikah dengan seorang duda juga karena uang. Sang duda membayar Olive 20 KJ per hari.

Dame Olga adalah seorang ibu tiri yang jahat. Ia sering menyiksa dan menyuruh Ella melakukan pekerjaan berat. Ia mencintai seseorang juga hanya karena uang. Dame Olga menyesal menikah dengan Sir Peter yang ternyata telah jatuh miskin, tetapi karena kutukan Lucinda, dia selalu mencintai suaminya.

Banyak sekali amanat yang bisa kita petik dari cerita maupun tokoh-tokoh dalam novel ini. Cerita ini telah memberikan contoh yang baik dan yang buruk. Beberapa amanat yang bisa kita ambil diantaranya:
 Kita harus gigih berjuang agar kita mendaptkan hasil yang maksimal
 Jangan pernah menyerah untuk menggapai sesuatu walaupun sepertinya hal itu mustahil bagi kita.
 Jangan pernah berhenti belajar dan jangan pernah merasa pintar.
 Berpikirlah sebelum bertindak agar tidak menyesal nantinya.
 Jangan pernah berpikir negatif terhadap orang lain.
 Jangan menilai orang hanya dari hartanya, nilailah dari hati dan sikapnya.
 Bersikaplah rendah diri, jangan pernah menyombongkan diri karena kesombongan membawa kita kepada kehacuran.


School Library Journal berkomentar “Novel yang memesona yang memperdalam dan memperkaya hikayat aslinya”. Cerita ini mirip dengan Cinderella yaitu seorang Pangeran yang mencari seorang putri dengan sepatu sebagai pembuktian. Walaupun cerita ini mirip Cinderella, tetapi novel ini sungguh imajinatif dan tidak membosankan, ditambah lagi dengan unsur fantasi yang sangat tinggi. Gail Carson Levine sangat pandai menyambungkan peristiwa satu dengan lainnya sehingga ceritanya terjalin indah dan mudah dipahami. Latarnya juga digambarkan dengan begitu jelas dan alurnya sederhana tetapi sangat indah, sehingga pembaca tidak merasa bosan. Jadi, pantas saja novel ini meraih banyak penghargaan bergengsi di Amerika.

Hal negatif dari cerita ini adalah tetang penggambaran jahatnya seorang ibu tiri. Statement ibu tiri selalu jahat sudah lazim terdengar di Indonesia. Hal ini membuat anak-anak menjadi takut jika mempunyai ibu tiri. Padahal tak selamanya seorang ibu tiri bersikap jahat kepada anak tirinya. Banyak juga ibu tiri yang menyayangi anak tiri mereka seperti yang dilakukan oleh ibu kandung anak tersebut.

Seperti novel-novel fantasi lainnya. Novel ini membuat anak menjadi berkhayal ketika membacanya. Bahkan kadang sampai terbawa mimpi. Menurut saya, ini cukup baik karena melatih imajinasi dan konsentrasi mereka. Asalkan mereka bisa membawa diri kapan boleh berkhayal dan akpan tak boleh berkhayal.

Jumat, 23 Oktober 2009

Akankah Keluhuran Budaya Indonesia Hanya Menjadi Tameng Sparatisme?

Pendahulaun

Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horisontal hal tersebut ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Indonesia adalah negara multikultural yang membentang dari Aceh hingga Papua. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai pandangan yang berbeda dari masing-masing suku yang mendiami wilayah NKRI tentang budaya. Mereka mangganggap bahwa kebudayaan yang mereka miliki adalah milik mereka sendiri, bukan milik bangsa Indonesia. Padahal, kebudayaan tertentu yang sudah cukup dikenal, pasti mendapat sambutan hangat dari luar negeri sebagai kebudayaan Indonesia, bukan kebudayaan suku tertentu dalam wilayah Indonesia.

Namun demikian, beberapa tokoh Indonesia telah mencoba mendefinisikan apa yang disebut sebagai kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1934 Sutan Takdir Alisjahbana mangatakan bahwa ke-Indonesia-an adalah ciptaan abad XX, suatu tanda kebangkitan kembali rakyat Indonesia dalam semangat persatuan yang dinamis. Semangat itu terjadi karena pengaruh kebudayaan Barat dan memperlihatkan tahap baru perkembangan kebudayaan di Nusantara, seperti dahulu pernah terjadi sebagai pengaruh dari kebudayaan India dan Arab. Akan tetapi, konsep St. Takdir masih dianggap sebagai penolakan terhadap warisan kebudayaan pribumi dan menyetujui kebudayaan-kebudayaan pihak penjajah, meskipun ia selalu berusaha mengingatkan bahwa ia hanya menganjurkan adanya penilaian kembali terhadap masa lalu dengan menyadari semangat dinamis Barat.[1]

Indonesia, termasuk konteks internasional mengalami goncangan yang luar biasa sejak akhir tahun 1980-an, yaitu ketika berakhirnya perang dingin dan keruntuhan serta pecahnya Uni Soviet. Pada saat itu, perkembangan-perkembangan tersebut menuntut pemerintah Indonesia dan militer untuk meningkatkan kekerasan karena khawatir Indoensia juga akan runtuh seperti Uni Soviet.

Sejak merdeka hingga kini, Indonesia telah banyak mendapat ancaman dan rongrongan baik dari dalam maupun luar negeri. Rongrongan dari dalam negeri salah satunya adalah banyaknya pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia. Banyak alasan yang menyebabkan timbulnya pemberontakan tersebut, antara lain politik, keadilan atau pemerataan, masalah sosial, budaya, dan masih banyak sebab lain.

Dari banyaknya pemberontakan terutama yang menginginkan disintegrasi (gerakan sparatisme) yang timbul selama masa kemerdekaan Indonesia, saya akan mencoba mengulasnya kembali berdasarkan waktu kejadiannya dan tentu saja pada akhirnya akan dibahas tentang masalah kebudayaan yang dapat melatarbelakangi timbulnya pemberontakan atau sparatisme tersebut.


Pemberontakan pada Masa Orde Lama

Pada tahun 1949, Aceh talah dijadikan suatu propinsi Republik yang otonom, tetapi pada tahun 1950 propinsi ini digabungkan dengan Sumatra Utara. Tanggal 19 September 1953, Daud dan PUSA memberontak terhadap pemerintah dengan dukungan rakyat Aceh yang menjadi tentara dan pegawai pemerintahan. PKI mendukung pemerintah yang ‘mamerangi’ Aceh dengan menyebutnya colonial, militeristis, feodal, dan fasis.

Kegiatan Darul Islam juga meningkat selama masa Kabinet Ali. Aktivis dan markas-markasnya tersebar di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Hal ini manjadi tantangan yang cukup berat bagi pemerintahan. Selain itu, PKI juga semakin meluas di pedesaan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pada tanggal 15 Februari 1958 diumumkan adanya pemberontak di Sumatra yang berpusat di Bukittinggi dengan nama PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan Sjariffudin menjadi perdana mentrinya. Dua hari kemudian, kaum pemberontak dari Sulawesi (Persemesta) bergabung dengan PRRI. Mereka mendapat dukungan dari Amerika Serikat.

Puncak dari pemberontakan PKI terjadi pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965. PKI menculik beberapa jendral kemudian menyiksa dan membunuhnya. Mayat para jendral tersebut dimasukkan ke dalam sumur di daerah Lubang Buaya. Peristiwa mengerikan ini dikenal dengan nama G30S/PKI.

Sebenarnya masih banyak pemberontakan lain yang juga mengancam keutuhan Negara Kesatuan RI. Namun, semuanya masih dapat diatasi oleh pemerintah. Pemberontakan tersebut pada umumnya menginginkan negera Indonesia manjadi negara yang mereka inginkan atau yang berlandaskan asas yang dipakai oleh organisasi pemberontak tersebut. Akan tetapi, ada pula yang menginginkan pendirian negara baru dengan pondasi yang berbeda dengan yang dipakai oleh Republik Indonesia.



Sparatisme pada Masa Orde Baru

Di Aceh yang selama ini dianggap tenang, bahkan setelah adanya kegiatan pemberontakan tahun 1976-1982 dan proklamasi kemerdekaan tanggal 4 Desember 1976, tanpa disangka-sangka muncul kembali sebuah pemberontakan pada bulan Mei 1988. Puncaknya terjadi pada tahun 1989, yaitu ketika pasukan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menyerang pos-pos dan melucuti senjata ABRI. GAM mendapat dukungan penuh dari luar. Beberapa pejuang GAM mandapat pelatihan militer di Libya. GAM juga mempunyai sumber pandanaan dari komunitas orang-orang kaya di Malaysia.

Dengan bertambah parahnya pemberontakan di Aceh, pemerintah mengirim Pasukan Kostrad di bawah pimpinan Prabowo. Sejak saat itu (1990) hingga tahun 1998, Aceh dikategorikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan wilayah tersebut diberlakukan hukum darurat perang.

Iring-iringan jenazah di Pemakaman Santa Cruz, Dili pada tanggal 12 November 1991 berubah menjadi demonstrasi prokemerdekaan. ABRI membantai masa yang menyerang, puluhan bahkan ratusan orang diberitakan tewas dalam insiden tersebut. Setelah peristiwa tersebut, aktivis Timor Timur di luar Indonesia, terutama Ramos-Horta menerima perhatian internasional. Bahkan, pemimpin Timor Timur, Ray Kala Xanana Gusmão yang dianggap telah memimpin pemberontakan dan divonis 20 tahun penjara malah dibebaskan.


Sparatime pada Masa Reformasi

Pada bulan Juli 1998, rakyat Papua mengibarkan bendera OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Biak dan segera dihadapi oleh ABRI dengan kekerasan. Bulan Mei 1999, para demonstran yang menuntut kemerdekaan Papua menuju Jakarta. Namun, sayangnya usaha mereka tidak berhasil karena tidak mendapat dukungan dari pihak lain.

Setelah sering mandapat desakan dari rakyat Timor Timur, Presiden Habibie memutuskan untuk mengadakan referendum. Pada bulan Mei 1999, diadakan perjanjian tentang referendum tersebut di New York yaitu antara Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan, dan Menteri Luar Negeri Portugal.

Akhirnya pada tanggal 30 September 1999 dengan damai dan tenang, diadakanlah referendum bagi rakyat Timor Timur untuk memilih apakah tetap berotonomi dalam Indonesia atau mendirikan negera sendiri (merdeka). Hasilnya, dari 438.968 suara sah, 78,5% mendukung kemerdekaan dan 21,5% mendukung otonomi. Dengan demikian, Timor Timur lepas dari Indonesia dan menjadi tetangga negara Indonesia.

Sementara itu, kerusuhan sering terjadi di Aceh. Pada bulan Mei 1999 terjadi bentrokan antara ABRI dan gerakan sparatis Aceh bersama penduduk setempat yang menewaskan 30 orang dan melukai 100 orang.

Pada bulan November 2001, pemimpin gerakan kemerdekaan Papua, Theys Eluay dibunuh oleh TNI sehingga mengakibatkan 7 personel TNI dipenjara. Perundingan gencatan senjata di Aceh awalnya sedikit berhasil, tetapi Aceh tetap tidak mau menerima jika mereka harus tetap bergabung dalam Negera Kesatuan RI sehingga gerakan militer dirasa perlu dilaksanakan kembali.



Mengapa Timbul Gerakan Sparatisme?

Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk (multietnik) selalu menimbulkan persoalan integrasi nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang terwujud dalam masyarakat Indonesia akan memberi bentuk integrasi yang bersifat vertikal. Beberapa sifat dasar yang selalu dimiliki pada masyarakat majemuk sebagaimana dijelaskan oleh van de Berghe adalah sebagai berikut.

  1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
  3. Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
  4. Secara relatif seringkali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya.
  5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.[2]

Menurut Furnivall masyarakat majemuk (plural society) merupakan suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elmen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak terientegrasi dalam satu kesatuan politik.[3]

Adapun sparatisme adalah sebuah gerakan orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan. Menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia (2001), separatis (n) adalah orang (golongan) yang menghendaki memisahkan diri dari suatu persatuan; golongan (bangsa) untuk mendapat dukungan. Sementara separatisme adalah paham atau gerakan untuk memisahkan diri.

Terdapat dua sifat atau golongan yang ingin memisahkan diri dari suatu persatuan. Yang pertama adalah orang atau golongan tertentu yang gerakannya bersifat etnis. Pemisahan etnis ini merujuk kepada kelompok yang mencoba memisahkan diri dari segi budaya dan ekonomi atau ras.

Yang kedua adalah orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan yang sifatnya pilitis. Gerakan ini merujuk kepada suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia yang memiliki kesadaran nasional tajam dari satu sama lain.

Ada dua cara yang dilakukan suatu golongan atau seseorang untuk memisahkan diri dari sebuah persatuan. Salah satunya adalah dengan perjuangan secara damai. Sebagai contoh adalah yang pernah terjadi di Quebec, Kanada; perpecahan Cekoslowakia dengan Uni Soviet; dan pemisahan Singapura dari Federasi Malaysia. Cara lainnya adalah dengan kekerasan. Mereka menganggap bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mencapai kemerdekaan.

Ketika diadakan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua yang berlangsung di GOR Cenderawasih, Jayapura, pada hari Selasa 3 Juli 2007, OPM (Organisasi Papua Merdeka) membentangkan bendera bintang kejora yang merupakan lambang OPM. Kemudian ketika demo di depan keduataaan Amerika Serikat, beberapa demonstran memakai kaos bergambar bintang kejora. Tindakan-tindakan tersebut merupakan salah satu cara untuk menunjukkan keberadaan OPM yang menginginkan kemerdekaan atas wilayahnya.

Menurut Otis Simopiaref (2000), ada empat hal yang dijadikan alasan masyarakat Papua memisahkan diri dari wilayah kesatuan Indonesia. Keempat aspek tersebut adalah sebagai berikut.

1. Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak individu. Deklarasi tersebut menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif termasuk hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination). Oleh karena itu, menurut mereka, mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka sendiri.

2. Alasan kedua adalah budaya. Papua merupakan bagian dari rumpun bangsa atau Ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan Ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (nama pribumi untuk Kaledonia Baru) dan Fiji. Menurut ilmu antropologi, Timor Timur dan Maluku juga merupakan bagian dari Melanesia. Adapun Ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain. Jadi, Rakyat Papua dianggap sebagai bagian dari bangsa Melanesia bukan bagian dari Ras Melayu.

3. Alasan ketiga adalah latar belakang sejarah. Indonesia dan Papua keduanya merupakan bagian dari Hindia Belanda, tapi kedua bangsa ini tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang sejarah manusia.

4. Alasan terakhir adalah realitas sekarang. Rakyat Papua menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan merupakan akibat dari kekejaman praktik-praktik kolonialisme Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah Papua. Rakyat Papua semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas.[4]

Dari salah satu contoh kasus di Papua tersebut, kita sudah dapat melihat bahwa gerakan sparatisme dapat timbul sebagai akibat dari berbagai aspek yang menurut mereka adalah sebagai identitas diri atau suatu etnis dan yang mampu dijadikan alasan kuat untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI. Selain itu, saat ini masih banyak pula gerakan-gerakan lain yang juga mempunyai tujuan sama dengan OPM ini. Propinsi Nangroe Aceh Darusalam terkenal dengan GAM-nya (Gerakan Aceh Merdeka). Maluku dengan RMS-nya (Republik Maluku Serikat).

Hal ini sangat disesalkan, karena bangsa Indonesia sudah lebih 62 tahun memproklamasikan kemerdekaannya dan pada tahun 1998 otonomi daerah telah digulirkan. Namun, belum membuat daerah-daerah tertentu berpuas diri dan merasa mereka belum benar-benar merdeka. Seharusnya kita memandang kemerdekaan Indonesia sebagai kebutuhan bersama seluruh warga NKRI seluruhnya. Untuk kepentingan NKRI, semestinya kita rela berkorban untuk tidak mengedepankan perjuangan kemerdekaan yang hanya lebih mengedepankan unsur kedaerahan yang bersifat lokal.

Kebudayaan sebagai salah satu unsur lokal seharusnya tidak perlu diklaim sebagai milik sendiri suatu daerah. Kebudayaan daerah adalah bagian dari kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati, masing-masing daerah dapat bahkan wajib mengembangkan kebudayaan daerahnya, tetapi mereka tidak bisa mengklaim suatu kebudayaan miliknya sendiri yang tak boleh digunakan oleh orang lain. Pada kenyataannya, dalam satu daerah ada lebih dari satu kelompok etnik. Satu kelompok etnik juga bisa tersebar di beberapa tempat. Budaya etnik itu harus menjadi milik Indonesia. Hal ini berarti bahwa pendukung budaya etnik itu boleh tinggal di mana saja, sesuai dengan aturan yang ada. Namun, orang-orang dari kelompok etnik yang ada boleh mengambil manfaat dari budaya etnik lain.

Keluhuran budaya Indonesia terletak pada karakter dan citra bangsa yang ramah dan bersahabat serta semangat gotong royong dan musyawarah mufakat. Oleh karena itu, kita anti penjajah dan cinta perdamaian. Budaya Nasional merupakan akumulasi dari puncak-puncak budaya daerah. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memelihara dan melestarikan kebudayaan tersebut. Hanya bangsa yang bisa mempertahankan jati diri dan budaya nasionalnya yang akan bisa menjadi bangsa yang besar.



Kesimpulan

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki struktur sosial dan budaya yang begitu kompleks. Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antar etnik, kesenjangan sosial, dan sukar sekali terjadinya integrasi secara permanen.

Di satu sisi, heterogenitas bangsa Indonesia menyimpan berbagai budaya dan selalu menjadi khasanah kebudayaan nasional yang luhur. Jika intergasi dapat berjalan dengan baik dan lancar, kehidupan bersama yang harmonis pasti akan terwujud dalam lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, kemajemukan bangsa Indonesia dapat menyebabkan konflik antar etnik dan keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI yang disebabkan oleh etnosentrisme, primordialisme, dan kesenjangan sosial. Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa seorang antropolog Cliffrod Gertz pernah mengatakan bahwa jika bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya dan solidaritas etnik, Indonesia akan terpecah menjadi negara-negara kecil.



Daftar Pustaka

Degei, Yermias Ignatius. “Orang Papua Separatis (?): Sebuah Tanggapan”. tgl. 15 Juni 2007 http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=2714 (25 Oktober 2007)

Foulcher, Keith. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933—1942. (Sriwibawa, Sugiarta. Terjemahan). Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1991.

Oesman, Dahroen Angger. Etnopolitic Conflict, Sparatisme, dan Masalah Integrasi Nasional”. http://www.pmiiunpad.topcities.com/etnopolitic.htm (25 Oktober 2007)

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition). (Wahono, Satrio, et.al. Terjemahan). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Sedyawati, Edi. “Jangan Klaim Kebudayaan hanya Milik Sendiri” tgl. 4 Mei 2003. http://www.balipost.com/balipostcetak/2003/5/4/g4.html (25 Oktober 2007)

Tim Penyusun Kamus. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia (dalam topik sparatisme).



[1] Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933—1942 (Jakarta: 1991), hlm. 34, 37.

[2] Dahroen Angger Oesman, “Etnopolitic Conflict, Sparatisme, dan Masalah Integrasi Nasional”, dalam www.pmiiunpad.topcities.com, Oktober 2007.

[3] Ibid.

[4] Yermias Ignatius Degei, “Orang Papua Separatis (?): Sebuah Tanggapan” dalam http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=2714, Juni 2007