Jumat, 17 Desember 2010

Beringin Kembar di Alun-Alun Kidul, Keraton Yogyakarta




Yeah...yuk jalan-jalan sambil nyentil yang mistis-mistis

Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar mitos beringin kembar (penduduk menyebutnya Wringin Kurung) yang ada di tengah-tengah Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta. Atau bahkan mungkin ada pula yang pernah mencobanya. Bagaimana? Berapa kali kalian mencobanya? Berhasilkah? Ya…konon, orang yang berjalan dari ujung alun-alun hingga dapat melewati celah (selebar kira-kira 10 meter) di antara kedua pohon beringin tersebut dengan menutup matanya adalah orang-orang yang memiliki hati yang tulus dan bersih serta segala harapannya akan terwujud.

Jika dilihat, berjalan lurus (dari depan pendopo utara hingga tengah alun-alun kurang lebih 25 meter) dengan mata tertutup untuk melewati celah di antara dua beringin tersebut memang terlihat mudah. Namun, tidak semua orang dapat melewatinya. Beberapa teman yang pernah mencobanya merasa sedang berjalan berbelok ke kiri, tetapi pada kenyataannya mereka berbelok ke kanan, atau sebaliknya. Ada juga yang merasa berjalan lurus, tetapi nyatanya mereka berbelok semakin menjauh dari pohon beringin. Banyak kejadian lucu saat kita berada di sana. Kita dapat melihat kejadian yang saya sebutkan tadi, ada juga yang hanya berputar-putar saja mengelilingi pohon beringin (kalau yang ini, temannya iseng, nggak nyuruh menyudahi aksi ngocol dan mengibakan kayak gini).

Banyak sekali (eh, nggak juga sih) cerita di balik kejadian ini yang dihubungkan dengan kejadian mistik. Ada yang mengatakan, di depan Wringin Kurung tersebut ada barisan makhluk halus yang bergandengan tangan dengan erat dan membentuk barisan yang membelok ke kanan (menurut teman, memang banyak wisatawan yang akhirnya berjalan berbelok ke kanan, rasanya sedang berjalan lurus padahal sedang berjalan berbelok ke kanan).

Lalu bagaimana sebenarnya mitos itu bisa terbentuk? Menurut warga Yogja (lebih tepatnya seorang teman yang kuliah dan ngekos di Yogja), ceritanya seperti ini.

Kejadian ini terjadi ketika Sultan Hamengkubuwono I berkuasa (1755—1792). Saat itu putri Sultan akan dipinang seorang pangeran. Akan tetapi, sang putri tidak mencintainya. Sang putri pun membuat akal-akalan agar pangeran itu takjadi menikahinya. Sang putri memberi syarat bahwa yang dapat menikahinya adalah orang yang dapat berjalan dengan mata tertutup dari pendopo utara Alun-Alun Kidul melewati celah antara dua beringin kembar di tengah alun-alun hingga selesai di pendopo selatan. Setelah dicoba, ternyata pangeran tak berhasil.

Akhirnya, Sultan bersabda “Orang yang dapat melewati celah beringin kembar tersebut hanyalah orang yang hatinya benar-benar bersih dan tulus.” Pada akhirnya, sang putri pun dipinang oleh pemuda dari Siliwangi yang berhasil melaksanakan syarat tersebut. Secara politik (kata temen anak jurusan Sejarah), memang diketahui muncul kekerabatan yang erat antara Mataram dengan Kerajaan Siliwangi.

Begitulah cerita yang saya dengar dari seorang teman dan beberapa sumber lain. Sampai saat ini, banyak wisatawan yang mencoba melewati beringin kembar tersebut. Jika berkunjung ke Alun-Alun Kidul pada malam hari, kalian akan melihat banyak orang yang melakukan hal tersebut. Otak bisnis orang Jogja pun berjalan. Selain, tentu saja, banyak pedagang makanan angkringan, ada pula pedagang yang menyewakan penutup mata, dua ribu untuk seorang.


Jadi, siapa yang pernah mencobanya?

Sayaaa…!!! Ya, saya pernah mencobanya. Pertama kali saat saya sedang SPMB tahun 2006 di Jogja (sempet ya paginya mau SPMB, malemnya malah maen-maen sampe tengah malem…hha… *emang ni otak isinya maen mulu). Saat itu, bersama tiga orang teman, saya mencoba hingga tiga kali, dua kali di antaranya saya berhasil melewati celah beringin kembar tersebut. Teman saya tak ada yang berhasil, bahkan mereka malah menuduh saya ngintip…zzz… Padahal, saya sama sekali tak ngintip, beneran dah...!

Kedua kalinya (saat Sekaten 2010) saya bersama tiga teman saya liburan ke Jogja. Sekembalinya dari Kotagede melihat industri kerajinan perak, selepas asar kami sudah berada di Alun-Alun Kidul, menyewa sepeda-gandeng-tiga hingga maghrib. Suasana di sana sudah ramai. Banyak pedagang angkringan. Sisi timur sedang alun-alun digunakan bermain bola, sedangkan sisi barat digunakan sebagai lahan penyewaan sepeda. Selepas salat maghrib, kami mencoba melewati pohon beringin itu. Saat itu, saya mencoba (kalau taksalah) tiga kali, tapi yang jelas saya berhasil melewati celah itu. Menurut teman saya, awalnya saya berbelok ke kanan cukup jauh, tapi saya kembali berbelok ke kiri dan akhirnya masuklah saya ke celah beringin itu. hhe… “berhasil, berhasil, berhasil…” #gayaDoraTheExplorer a.k.a @Anita Rima Dewi

Saya bukanlah orang yang percaya terhadap mitos-mitos seperti itu. Menurut saya, hal itu hanyalah kebetulan, tak ada hubungannya dengan mistik, karena tak mungkin kita dapat mengukur ketulusan hati seseorang hanya dengan melewati pohon yang dikeramatkan tersebut. Menurut saya, ketulusan hati bukan diukur dalam beberapa saat seperti itu, melainkan diukur berdasarkan niat kita melakukan sesuatu. #agak.sotoy.nih …hha…

Akan tetapi, buat saya, ada hikmahnya juga kejadian itu. Saya jadi berusaha mewujudkan apa yang disimpulkan orang dari kejadian itu: berusaha memiliki ketulusan hati yang sesungguhnya. Meskipun saya tahu hal itu sangat sangat sangat sulit, sedikit-sedikit saya akan mencobanya: menjadi manusia yang lebih baik. Amien…

-->
Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar mitos beringin kembar (penduduk menyebutnya Wringin Kurung) yang ada di tengah-tengah Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta. Atau bahkan mungkin ada pula yang pernah mencobanya. Bagaimana? Berapa kali kalian mencobanya? Berhasilkah? Ya…konon, orang yang berjalan dari ujung alun-alun hingga dapat melewati celah (selebar kira-kira 12 meter) di antara kedua pohon beringin tersebut dengan menutup matanya adalah orang-orang yang memiliki hati yang tulus dan bersih serta segala harapannya akan terwujud.
Jika dilihat, berjalan lurus (dari depan pendopo utara hingga tengah alun-alun kurang lebih 20 meter) dengan mata tertutup untuk melewati celah di antara dua beringin tersebut memang terlihat mudah. Namun, tidak semua orang dapat melewatinya. Beberapa teman yang pernah mencobanya merasa sedang berjalan berbelok ke kiri, tetapi pada kenyataannya mereka berbelok ke kanan, atau sebaliknya. Ada juga yang merasa berjalan lurus, tetapi nyatanya mereka berbelok semakin menjauh dari pohon beringin. Banyak kejadian lucu saat kita berada di sana. Kita dapat melihat kejadian yang saya sebutkan tadi, ada juga yang hanya berputar-putar saja mengelilingi pohon beringin (kalau yang ini, temannya iseng, nggak nyuruh menyudahi aksi ngocol ini).
Banyak sekali (nggak juga sih) cerita di balik kejadian ini yang dihubungkan dengan kejadian mistis. Ada mengatakan, di depan Wringin Kurung tersebut ada barisan makhluk halus yang bergandengan tangan dengan erat dan membentuk barisan yang membelok ke kanan (menurut teman, memang banyak wisatawan yang akhirnya berjalan berbelok ke kanan, rasanya sedang berjalan lurus padahal sedang berjalan berbelok ke kanan).

Lalu bagaimana sebenarnya mitos itu bisa terbentuk? Menurut warga Yogja (lebih tepatnya seorang teman yang kuliah dan ngekos di Yogja), ceritanya seperti ini.
Kejadian ini terjadi ketika Sultan Hamengkubuwono I berkuasa (1755—1792). Saat itu putri Sultan akan dipinang seorang pangeran. Akan tetapi, sang putri tidak mencintainya. Sang putri pun membuat akal-akalan agar pangeran itu tak jadi menikahinya. Sang putri memberi syarat bahwa yang dapat menikahinya adalah orang yang dapat berjalan dengan mata tertutup dari pendopo utara Alun-Alun Kidul melewati celah antara dua beringin kembar di tengah alun-alun hingga selesai di pendopo selatan. Setelah dicoba, ternyata pangeran tak berhasil.
Akhirnya, Sultan bersabda “Orang yang dapat melewati celah beringin kembar tersebut hanyalah orang yang hatinya benar-benar bersih dan tulus.” Pada akhirnya, sang putri pun dipinang oleh pemuda dari Siliwangi yang berhasil melaksanakan syarat tersebut. Secara politik (kata anak jurusan Sejarah), memang diketahui muncul kekerabatan yang erat antara Mataram dengan Kerajaan Siliwangi.

Begitulah cerita yang saya dengar dari seorang teman dan beberapa sumber lain. Sampai saat ini, banyak wisatawan yang mencoba melewati beringin kembar tersebut. Jika berkunjung ke Alun-Alun Kidul pada malam hari, kalian akan melihat banyak orang yang melakukan hal tersebut. Otak bisnis orang Jogja pun berjalan. Selain, tentu saja, banyak pedagang makanan angkringan, ada pula pedagang yang menyewakan penutup mata, dua ribu untuk seorang.

Jadi, siapa yang pernah mencobanya?
Sayaaa…!!! Saya pernah mencobanya. Pertama kali saat saya sedang SPMB tahun 2006 di Jogja (sempet ya paginya mau SPMB, malemnya malah maen-maen sampe tengah malem…hha…). Saat itu, bersama tiga orang teman, saya mencoba hingga tiga kali, dua kali di antaranya saya berhasil melewati celah beringin kembar tersebut. Teman saya tak ada yang berhasil, bahkan mereka malah menuduh saya ngintip…zzz… Padahal, saya sama sekali tak ngintip.
Kedua kalinya (saat Sekaten 2010) saya bersama tiga teman saya liburan ke Jogja. Sekembalinya dari Kotagede melihat industri kerajinan perak, selepas asar kami sudah berada di Alun-Alun Kidul, menyewa sepeda-gandeng-tiga hingga maghrib. Suasana di sana sudah ramai. Banyak pedagang angkringan. Sisi timur sedang alun-alun digunakan bermain bola, sedangkan sisi barat digunakan sebagai lahan penyewaan sepeda. Selepas salat maghrib, kami mencoba melewati pohon beringin itu. Saat itu, saya mencoba (kalau tak salah) tiga kali, tapi yang jelas saya berhasil melewati celah itu. Menurut teman saya, awalnya saya berbelok ke kanan cukup jauh, tapi saya kembali berbelok ke kiri dan akhirnya masuklah saya ke celah beringin itu. hhe… “berhasil, berhasil, berhasil…” #gayaDoraTheExplorer
Saya bukanlah orang yang percaya terhadap mitos-mitos seperti itu. Menurut saya, hal itu hanyalah kebetulan, tak ada hubungannya dengan mistik, karena tak mungkin kita dapat mengukur ketulusan hati seseorang hanya dengan melewati pohon yang dikeramatkan tersebut. Menurut saya, ketulusan hati bukan diukur dalam beberapa saat seperti itu, melainkan diukur berdasarkan niat kita melakukan sesuatu. #agak.sotoy.nih …hha…
Akan tetapi, buat saya, ada hikmahnya juga kejadian itu. Saya jadi berusaha mewujudkan apa yang disimpulkan orang dari kejadian itu: berusaha memiliki ketulusan hati yang sesungguhnya. Meskipun saya tahu hal itu sangat sangat sangat sulit, sedikit-sedikit saya akan mencobanya: menjadi manusia yang lebih baik. Amien…