Senin, 22 Juli 2013

Hari Anak Nasional 2013

Mungkin masih kurang populer kalau 23 Juli adalah Hari Anak Nasional. Kalau mau tahu sejarah penetapan hari itu sebagai Hari Anak Nasional, silakan googling. Seabrek tulisan tentang itu.

Hari ini saya mau berbagi soal anak. Ini bukan kapasitas saya sebagai pengamat atau pengkaji anak, apalagi psikolog. Ini cuma ocehan seorang manusia yang sudah nggak pantas disebut anak-anak, tapi juga belum tentu bisa dianggap dewasa. Mau dibilang ABG juga sudah bangkotan.

Bagi saya, anak menyimpan banyak sekali keajaiban yang jarang diduga oleh kita yang mengaku dewasa. Bulan Ramadan ini saya kembali dibuat iri oleh anak-anak di program "Hafidz Indonesia". Saya pikir anak-anak seperti itu jarang ada di Indonesia, tapi seabrek di kawasan Timur Tengah. Ternyata, dugaan jauh meleset. Indonesia pun punya seabrek anak-anak demikian.

Kecintaan pada anak-anak bermula ketika saya harus mengajar anak-anak SD ketika saya masih kuliah dan juga saat berinteraksi dengan mereka untuk tugas mata kuliah pengkajian sastra anak. Saya yang awalnya kurang dekat dengan anak-anak menjadi sangat tertarik pada mereka dengan segala kepolosan dan kejutan-kejutannya. Saking dekatnya dengan mereka, kadang saya sampai di-bully oleh mereka (kebalik ya hehe). Kadang memang kesal menghadapi tingkah mereka, tapi semua terobati saat mereka sudah menunjukkan kelebihannya. Jenius karena memang IQ-nya subhanallah, cerdas di linguistiknya, matematik, visual, spasial, dan lainnya. Ya, sekali lagi mereka mengagumkan buat saya.

Ngomong-ngomong soal kenakalan anak-anak, saya jadi mengerti pernyataan para psikolog bahwa tak ada anak yang nakal, yang ada hanya anak kreatif yang mungkin kurang mendapat bimbingan. Saya sangat setuju dengan hal itu. Empat tahun lebih berinteraksi secara intens hampir setiap hari dengan mereka membuat saya tahu bahwa anak-anak yang dianggap nakal sebenarnya sedang meluapkan kreatifitas mereka. Misal anak yang suka mencoret meja, saat diminta menggambar, hasilnya keren. Atau anak yang suka meledek temannya, saat diajak diskusi sangat asyik dan jangan heran, pengetahuan mereka luas. Mereka meledek dengan pengetahuan mereka. Dan masih banyak contoh lainnya. Jadi, intinya tinggal kita yang mengaku dewasa ini yang membantu mereka memahami dan mengarahkan kreativitasnya agar tak salah arah. (Ini hanya pandangan saya lho ya, bukan memberi nasihat, apalagi menggurui)

Saya juga pernah mendengar sebuah slogan sebuah komunitas yang tujuannya memberi ruang kreasi bagi anak-anak di kawasan Dieng, Jawa Tengah. "Bocah dudu dolanan, bocah kudu dolanan." (Anak bukan mainan, anak harus bermain)

Slogan itu dalam maknanya menurut saya. Tanpa sadar kadang kita memosisikan anak-anak sebagai "mainan" kita (dalam kasus ringan). Ekploitasi anak untuk dunia perdagangan dan hiburan. Coba ingat berapa banyak iklan susu formula yang memamerkan kelucuan anak-anak untuk meningkatkan jumlah pembelian produk. Iklan produk lain yang membawa anak-anak juga masih banyak. Kita (atau saya saja mungkin) memang terhibur. Mereka benar-benar lucu. Tapi apa iya mereka layak dimanfaatkan untuk meraup keuntungan? Hmmm, serba salah sih ya hehe... Film? Sinetron? Ya, masih banyaklah jenis hiburan lain yang mengeksploitasi mereka. Mungkin mereka senang bisa beken, tapi karena tuntutan dari banyak pihak, akhirnya mereka jadi stres dan kehilangan masa kanak-kanaknya karena harus menjadi public figure.

Dalam kasus yang lebih berat, anak menjadi tujuan atau terdampak laku kejahatan. Kekerasan hingga pelecehan seksual kerap dialami mereka. Kadang pelakunya justru orang terdekat mereka yang sudah mereka anggap bisa melindungi mereka. Trauma pun menjadi bayang-bayang mereka.

Guru saya saat mengikuti kuliah sastra anak, Prof. Riris Sarumpaet, mengatakan perasyikan adalah dunia anak-anak. Menyambung ke slogan sebelumnya, anak-anak memang harus bermain. Bermain yang mengembangkan kreativitas dan menghibur mereka tentunya, bukan malah memaksa mereka melakukan yang tak mereka suka. Saya selalu kasihan melihat mereka yang pulang sekolah harus ikut bimbel dan les, dari bahasa Inggris, sempoa, kumon, musik, tari, dan lainnya yang kadang bukan karena hobi mereka tapi karena paksaan dan tuntutan orangtua. Malamnya mereka harus belajar dan mengerjakan tugas dari sekolah atau bimbel dan les. Kapan mereka bermain?

Mainan dan hiburan untuk mereka juga sudah jarang. Mainan serba instan, game online, dan peralatan game elektronik lainnya yang justru membuat anak diam di tempat dan akhirnya banyak kasus obesitas pada anak: asyik main game, duduk diam, tapi ngemil jalan terus :D 

Lagu anak-anak? Jarang ya sekarang... Palingan sekarang lagu anak-anak cuma populer di PAUD, TK, dan komunitas tukang odong-odong. Di luar itu, ya lagu konsumsi mereka adalah lagu orang dewasa. Zaman saya sih masih ada Trio Kwek-Kwek, Joshua, Eno Lerian, Agnes Monica cilik, dll. Kasihan ya anak-anak sekarang. Ada sih penyanyi anak-anak, bahkan ada boy/girlband anak, tapi ya lagunya? You know lah... Ajang pencarian bakat nyanyi buat anak juga ada, tapi ya lihat saja deh. Dari lagu sampai kostumnya, nggak jauh beda dengan ajang serupa untuk orang dewasa, bedanya cuma pesertanya aja, yang ini masih di bawah umur.

Eh, kok jadi panjang begini ya. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya curhatkan sih, tapi sudahlah, lain waktu saja. Selamat beraktivitas. Selamat Hari Anak Nasional...

Pangkalpinang, 23 Juli 2013 07.46
Prima (pecinta anak-anak dan nggak sabar ingin punya anak hha)
*ditulis mendadak tanpa editing, jadi maaf ya banyak yang nggak jelas