Jumat, 23 Oktober 2009

Akankah Keluhuran Budaya Indonesia Hanya Menjadi Tameng Sparatisme?

Pendahulaun

Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan heterogenitas etnik dan bersifat unik. Secara horisontal hal tersebut ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan primordialisme. Indonesia adalah negara multikultural yang membentang dari Aceh hingga Papua. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai pandangan yang berbeda dari masing-masing suku yang mendiami wilayah NKRI tentang budaya. Mereka mangganggap bahwa kebudayaan yang mereka miliki adalah milik mereka sendiri, bukan milik bangsa Indonesia. Padahal, kebudayaan tertentu yang sudah cukup dikenal, pasti mendapat sambutan hangat dari luar negeri sebagai kebudayaan Indonesia, bukan kebudayaan suku tertentu dalam wilayah Indonesia.

Namun demikian, beberapa tokoh Indonesia telah mencoba mendefinisikan apa yang disebut sebagai kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1934 Sutan Takdir Alisjahbana mangatakan bahwa ke-Indonesia-an adalah ciptaan abad XX, suatu tanda kebangkitan kembali rakyat Indonesia dalam semangat persatuan yang dinamis. Semangat itu terjadi karena pengaruh kebudayaan Barat dan memperlihatkan tahap baru perkembangan kebudayaan di Nusantara, seperti dahulu pernah terjadi sebagai pengaruh dari kebudayaan India dan Arab. Akan tetapi, konsep St. Takdir masih dianggap sebagai penolakan terhadap warisan kebudayaan pribumi dan menyetujui kebudayaan-kebudayaan pihak penjajah, meskipun ia selalu berusaha mengingatkan bahwa ia hanya menganjurkan adanya penilaian kembali terhadap masa lalu dengan menyadari semangat dinamis Barat.[1]

Indonesia, termasuk konteks internasional mengalami goncangan yang luar biasa sejak akhir tahun 1980-an, yaitu ketika berakhirnya perang dingin dan keruntuhan serta pecahnya Uni Soviet. Pada saat itu, perkembangan-perkembangan tersebut menuntut pemerintah Indonesia dan militer untuk meningkatkan kekerasan karena khawatir Indoensia juga akan runtuh seperti Uni Soviet.

Sejak merdeka hingga kini, Indonesia telah banyak mendapat ancaman dan rongrongan baik dari dalam maupun luar negeri. Rongrongan dari dalam negeri salah satunya adalah banyaknya pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia. Banyak alasan yang menyebabkan timbulnya pemberontakan tersebut, antara lain politik, keadilan atau pemerataan, masalah sosial, budaya, dan masih banyak sebab lain.

Dari banyaknya pemberontakan terutama yang menginginkan disintegrasi (gerakan sparatisme) yang timbul selama masa kemerdekaan Indonesia, saya akan mencoba mengulasnya kembali berdasarkan waktu kejadiannya dan tentu saja pada akhirnya akan dibahas tentang masalah kebudayaan yang dapat melatarbelakangi timbulnya pemberontakan atau sparatisme tersebut.


Pemberontakan pada Masa Orde Lama

Pada tahun 1949, Aceh talah dijadikan suatu propinsi Republik yang otonom, tetapi pada tahun 1950 propinsi ini digabungkan dengan Sumatra Utara. Tanggal 19 September 1953, Daud dan PUSA memberontak terhadap pemerintah dengan dukungan rakyat Aceh yang menjadi tentara dan pegawai pemerintahan. PKI mendukung pemerintah yang ‘mamerangi’ Aceh dengan menyebutnya colonial, militeristis, feodal, dan fasis.

Kegiatan Darul Islam juga meningkat selama masa Kabinet Ali. Aktivis dan markas-markasnya tersebar di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Hal ini manjadi tantangan yang cukup berat bagi pemerintahan. Selain itu, PKI juga semakin meluas di pedesaan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pada tanggal 15 Februari 1958 diumumkan adanya pemberontak di Sumatra yang berpusat di Bukittinggi dengan nama PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan Sjariffudin menjadi perdana mentrinya. Dua hari kemudian, kaum pemberontak dari Sulawesi (Persemesta) bergabung dengan PRRI. Mereka mendapat dukungan dari Amerika Serikat.

Puncak dari pemberontakan PKI terjadi pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965. PKI menculik beberapa jendral kemudian menyiksa dan membunuhnya. Mayat para jendral tersebut dimasukkan ke dalam sumur di daerah Lubang Buaya. Peristiwa mengerikan ini dikenal dengan nama G30S/PKI.

Sebenarnya masih banyak pemberontakan lain yang juga mengancam keutuhan Negara Kesatuan RI. Namun, semuanya masih dapat diatasi oleh pemerintah. Pemberontakan tersebut pada umumnya menginginkan negera Indonesia manjadi negara yang mereka inginkan atau yang berlandaskan asas yang dipakai oleh organisasi pemberontak tersebut. Akan tetapi, ada pula yang menginginkan pendirian negara baru dengan pondasi yang berbeda dengan yang dipakai oleh Republik Indonesia.



Sparatisme pada Masa Orde Baru

Di Aceh yang selama ini dianggap tenang, bahkan setelah adanya kegiatan pemberontakan tahun 1976-1982 dan proklamasi kemerdekaan tanggal 4 Desember 1976, tanpa disangka-sangka muncul kembali sebuah pemberontakan pada bulan Mei 1988. Puncaknya terjadi pada tahun 1989, yaitu ketika pasukan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menyerang pos-pos dan melucuti senjata ABRI. GAM mendapat dukungan penuh dari luar. Beberapa pejuang GAM mandapat pelatihan militer di Libya. GAM juga mempunyai sumber pandanaan dari komunitas orang-orang kaya di Malaysia.

Dengan bertambah parahnya pemberontakan di Aceh, pemerintah mengirim Pasukan Kostrad di bawah pimpinan Prabowo. Sejak saat itu (1990) hingga tahun 1998, Aceh dikategorikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan wilayah tersebut diberlakukan hukum darurat perang.

Iring-iringan jenazah di Pemakaman Santa Cruz, Dili pada tanggal 12 November 1991 berubah menjadi demonstrasi prokemerdekaan. ABRI membantai masa yang menyerang, puluhan bahkan ratusan orang diberitakan tewas dalam insiden tersebut. Setelah peristiwa tersebut, aktivis Timor Timur di luar Indonesia, terutama Ramos-Horta menerima perhatian internasional. Bahkan, pemimpin Timor Timur, Ray Kala Xanana Gusmão yang dianggap telah memimpin pemberontakan dan divonis 20 tahun penjara malah dibebaskan.


Sparatime pada Masa Reformasi

Pada bulan Juli 1998, rakyat Papua mengibarkan bendera OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Biak dan segera dihadapi oleh ABRI dengan kekerasan. Bulan Mei 1999, para demonstran yang menuntut kemerdekaan Papua menuju Jakarta. Namun, sayangnya usaha mereka tidak berhasil karena tidak mendapat dukungan dari pihak lain.

Setelah sering mandapat desakan dari rakyat Timor Timur, Presiden Habibie memutuskan untuk mengadakan referendum. Pada bulan Mei 1999, diadakan perjanjian tentang referendum tersebut di New York yaitu antara Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan, dan Menteri Luar Negeri Portugal.

Akhirnya pada tanggal 30 September 1999 dengan damai dan tenang, diadakanlah referendum bagi rakyat Timor Timur untuk memilih apakah tetap berotonomi dalam Indonesia atau mendirikan negera sendiri (merdeka). Hasilnya, dari 438.968 suara sah, 78,5% mendukung kemerdekaan dan 21,5% mendukung otonomi. Dengan demikian, Timor Timur lepas dari Indonesia dan menjadi tetangga negara Indonesia.

Sementara itu, kerusuhan sering terjadi di Aceh. Pada bulan Mei 1999 terjadi bentrokan antara ABRI dan gerakan sparatis Aceh bersama penduduk setempat yang menewaskan 30 orang dan melukai 100 orang.

Pada bulan November 2001, pemimpin gerakan kemerdekaan Papua, Theys Eluay dibunuh oleh TNI sehingga mengakibatkan 7 personel TNI dipenjara. Perundingan gencatan senjata di Aceh awalnya sedikit berhasil, tetapi Aceh tetap tidak mau menerima jika mereka harus tetap bergabung dalam Negera Kesatuan RI sehingga gerakan militer dirasa perlu dilaksanakan kembali.



Mengapa Timbul Gerakan Sparatisme?

Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk (multietnik) selalu menimbulkan persoalan integrasi nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang terwujud dalam masyarakat Indonesia akan memberi bentuk integrasi yang bersifat vertikal. Beberapa sifat dasar yang selalu dimiliki pada masyarakat majemuk sebagaimana dijelaskan oleh van de Berghe adalah sebagai berikut.

  1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
  3. Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
  4. Secara relatif seringkali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya.
  5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.[2]

Menurut Furnivall masyarakat majemuk (plural society) merupakan suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elmen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak terientegrasi dalam satu kesatuan politik.[3]

Adapun sparatisme adalah sebuah gerakan orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan. Menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia (2001), separatis (n) adalah orang (golongan) yang menghendaki memisahkan diri dari suatu persatuan; golongan (bangsa) untuk mendapat dukungan. Sementara separatisme adalah paham atau gerakan untuk memisahkan diri.

Terdapat dua sifat atau golongan yang ingin memisahkan diri dari suatu persatuan. Yang pertama adalah orang atau golongan tertentu yang gerakannya bersifat etnis. Pemisahan etnis ini merujuk kepada kelompok yang mencoba memisahkan diri dari segi budaya dan ekonomi atau ras.

Yang kedua adalah orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan yang sifatnya pilitis. Gerakan ini merujuk kepada suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia yang memiliki kesadaran nasional tajam dari satu sama lain.

Ada dua cara yang dilakukan suatu golongan atau seseorang untuk memisahkan diri dari sebuah persatuan. Salah satunya adalah dengan perjuangan secara damai. Sebagai contoh adalah yang pernah terjadi di Quebec, Kanada; perpecahan Cekoslowakia dengan Uni Soviet; dan pemisahan Singapura dari Federasi Malaysia. Cara lainnya adalah dengan kekerasan. Mereka menganggap bahwa kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mencapai kemerdekaan.

Ketika diadakan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua yang berlangsung di GOR Cenderawasih, Jayapura, pada hari Selasa 3 Juli 2007, OPM (Organisasi Papua Merdeka) membentangkan bendera bintang kejora yang merupakan lambang OPM. Kemudian ketika demo di depan keduataaan Amerika Serikat, beberapa demonstran memakai kaos bergambar bintang kejora. Tindakan-tindakan tersebut merupakan salah satu cara untuk menunjukkan keberadaan OPM yang menginginkan kemerdekaan atas wilayahnya.

Menurut Otis Simopiaref (2000), ada empat hal yang dijadikan alasan masyarakat Papua memisahkan diri dari wilayah kesatuan Indonesia. Keempat aspek tersebut adalah sebagai berikut.

1. Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak individu. Deklarasi tersebut menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif termasuk hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination). Oleh karena itu, menurut mereka, mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka sendiri.

2. Alasan kedua adalah budaya. Papua merupakan bagian dari rumpun bangsa atau Ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan Ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (nama pribumi untuk Kaledonia Baru) dan Fiji. Menurut ilmu antropologi, Timor Timur dan Maluku juga merupakan bagian dari Melanesia. Adapun Ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain. Jadi, Rakyat Papua dianggap sebagai bagian dari bangsa Melanesia bukan bagian dari Ras Melayu.

3. Alasan ketiga adalah latar belakang sejarah. Indonesia dan Papua keduanya merupakan bagian dari Hindia Belanda, tapi kedua bangsa ini tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang sejarah manusia.

4. Alasan terakhir adalah realitas sekarang. Rakyat Papua menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan merupakan akibat dari kekejaman praktik-praktik kolonialisme Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah Papua. Rakyat Papua semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas.[4]

Dari salah satu contoh kasus di Papua tersebut, kita sudah dapat melihat bahwa gerakan sparatisme dapat timbul sebagai akibat dari berbagai aspek yang menurut mereka adalah sebagai identitas diri atau suatu etnis dan yang mampu dijadikan alasan kuat untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI. Selain itu, saat ini masih banyak pula gerakan-gerakan lain yang juga mempunyai tujuan sama dengan OPM ini. Propinsi Nangroe Aceh Darusalam terkenal dengan GAM-nya (Gerakan Aceh Merdeka). Maluku dengan RMS-nya (Republik Maluku Serikat).

Hal ini sangat disesalkan, karena bangsa Indonesia sudah lebih 62 tahun memproklamasikan kemerdekaannya dan pada tahun 1998 otonomi daerah telah digulirkan. Namun, belum membuat daerah-daerah tertentu berpuas diri dan merasa mereka belum benar-benar merdeka. Seharusnya kita memandang kemerdekaan Indonesia sebagai kebutuhan bersama seluruh warga NKRI seluruhnya. Untuk kepentingan NKRI, semestinya kita rela berkorban untuk tidak mengedepankan perjuangan kemerdekaan yang hanya lebih mengedepankan unsur kedaerahan yang bersifat lokal.

Kebudayaan sebagai salah satu unsur lokal seharusnya tidak perlu diklaim sebagai milik sendiri suatu daerah. Kebudayaan daerah adalah bagian dari kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati, masing-masing daerah dapat bahkan wajib mengembangkan kebudayaan daerahnya, tetapi mereka tidak bisa mengklaim suatu kebudayaan miliknya sendiri yang tak boleh digunakan oleh orang lain. Pada kenyataannya, dalam satu daerah ada lebih dari satu kelompok etnik. Satu kelompok etnik juga bisa tersebar di beberapa tempat. Budaya etnik itu harus menjadi milik Indonesia. Hal ini berarti bahwa pendukung budaya etnik itu boleh tinggal di mana saja, sesuai dengan aturan yang ada. Namun, orang-orang dari kelompok etnik yang ada boleh mengambil manfaat dari budaya etnik lain.

Keluhuran budaya Indonesia terletak pada karakter dan citra bangsa yang ramah dan bersahabat serta semangat gotong royong dan musyawarah mufakat. Oleh karena itu, kita anti penjajah dan cinta perdamaian. Budaya Nasional merupakan akumulasi dari puncak-puncak budaya daerah. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memelihara dan melestarikan kebudayaan tersebut. Hanya bangsa yang bisa mempertahankan jati diri dan budaya nasionalnya yang akan bisa menjadi bangsa yang besar.



Kesimpulan

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki struktur sosial dan budaya yang begitu kompleks. Indonesia selalu menghadapi permasalahan konflik antar etnik, kesenjangan sosial, dan sukar sekali terjadinya integrasi secara permanen.

Di satu sisi, heterogenitas bangsa Indonesia menyimpan berbagai budaya dan selalu menjadi khasanah kebudayaan nasional yang luhur. Jika intergasi dapat berjalan dengan baik dan lancar, kehidupan bersama yang harmonis pasti akan terwujud dalam lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, kemajemukan bangsa Indonesia dapat menyebabkan konflik antar etnik dan keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI yang disebabkan oleh etnosentrisme, primordialisme, dan kesenjangan sosial. Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa seorang antropolog Cliffrod Gertz pernah mengatakan bahwa jika bangsa Indonesia tidak pandai-pandai memanajemen keanekaragaman etnik, budaya dan solidaritas etnik, Indonesia akan terpecah menjadi negara-negara kecil.



Daftar Pustaka

Degei, Yermias Ignatius. “Orang Papua Separatis (?): Sebuah Tanggapan”. tgl. 15 Juni 2007 http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=2714 (25 Oktober 2007)

Foulcher, Keith. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933—1942. (Sriwibawa, Sugiarta. Terjemahan). Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1991.

Oesman, Dahroen Angger. Etnopolitic Conflict, Sparatisme, dan Masalah Integrasi Nasional”. http://www.pmiiunpad.topcities.com/etnopolitic.htm (25 Oktober 2007)

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition). (Wahono, Satrio, et.al. Terjemahan). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Sedyawati, Edi. “Jangan Klaim Kebudayaan hanya Milik Sendiri” tgl. 4 Mei 2003. http://www.balipost.com/balipostcetak/2003/5/4/g4.html (25 Oktober 2007)

Tim Penyusun Kamus. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia (dalam topik sparatisme).



[1] Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933—1942 (Jakarta: 1991), hlm. 34, 37.

[2] Dahroen Angger Oesman, “Etnopolitic Conflict, Sparatisme, dan Masalah Integrasi Nasional”, dalam www.pmiiunpad.topcities.com, Oktober 2007.

[3] Ibid.

[4] Yermias Ignatius Degei, “Orang Papua Separatis (?): Sebuah Tanggapan” dalam http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=2714, Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar